Penggunaan Hak Angket oleh DPR RI dalam Mengawasi Kebijakan Pemerintah
Implementasi Hak Angket Dalam Mengontrol Kebijakan Pemerintah
Sebagi salah satu contoh setelah bergulirnya UU tentang Hak angket
tersebut pada masa orde lama telah diajukan hak angket. Pada sejarah
ketatanegaraan Indone-sia, hak angket digunakan kali pertama pada 1950-an.
Berawal dari usul resolusi RM Margono Djojohadikusumo agar DPR mengadakan
angket atas usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Maka
kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13 orang, diketuai Margono,
yang tugasnya menyelidiki un-tung rugi mempertahankan devi-sen-regime berdasar Undang-Undang Pengawasan Devisen 1940 dan
perubahan-peruba-hannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-12 Agus-tus 1955) ini mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian diperpanjang dua kali dan menyelesaikan tugasnya pada Maret 1956 pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956). Sayang, hasil kerja tim bersamaan deng-an terbentuknya kabinet hasil Pemilu 1955 (Kabinet AH Sastroamidjojo-II) itu nasib-nya tidak jelas.
Berbeda ketika masa orde baru, hak angket menjadi tak berdaya melawan kekuasaan yang otoriter. Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar sebagai fraksi penopang pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat lo- los masuk dalam sidang pleno DPR 7 Juli 1980. Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI dan 6 dari FPP) menan-datangani usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan R Santoso Danuseputro (FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada Ketua DPR kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli (www.wikipedia.org akses 20-02-2011). Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto menyangkut kasus H Thahir dan Pertamina yang disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam si-dang pleno DPR 21 Juli 1980, menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang uniknya dilakukan tujuh anggota FKP sendiri. Usul angket tentang Pertamina tersebut dican-tumkan rencana pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang dengan 24 anggota pengganti, plus sejumlah tenaga ahli yang khusus dipekerjakan untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp 108 juta. Panitia angket diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan setiap bulan bersidang sedikitnya empat kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam satu tahun mereka bersidang hingga sekitar 75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan Fraksi
ABRI yang menyoal perlunya menggunakan hak angket. Nasib selanjutnya pun sangat
jelas: hak angket ditolak. Angket mentok di sidang pleno DPR. Setelah itu, hak
ini nya-ris tak pernah terdengar lagi gaungnya hingga rezim Orde Baru tumbang
pada 1998.
Kerajaan Soeharto runtuh pada tahun 1998, maka mulai ada pergerakan di
parlemen. Mulai mengamandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indone- sia
hingga hak-hak parlemen yang selama 32 tahun terpasung mulai berdunyut
kem-bali. Pasca reformasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu
terjadi ketika DPR mencium keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid dalam
penyalahgunaan uang Yayasan Dana Kese-jahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket
digunakan untuk menyelidiki penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari
Sultan Brunei atau yang lebih dikenal dengan istilah Bulog-gate dan Bruneigate
(Anton Pranoto, 2010: 8).
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya memorandum Gus
Dur untuk membubarkan parlemen itu berujung pada impeachment presiden. Pada periode pertama masa jabatan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hak angket pernah dicoba digulirkan atas
sejumlah kasus, di antaranya menyangkut ke- naikan harga BBM yang mengundang
reaksi maliasiswa, masalah impor beras 2006, penyelenggaraan ibadah haji 2008,
dan ruwetnya daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009. Namun, usaha tersebut
hanya menghasilkan keputusan normatif.
Ketua DPR HR Agung Laksono ketika pidato di depan Sidang Paripurna Pem- bukaan Masa Persidangan I Tahun Sidang 2009-2010, pertengahan Agustus lalu mengaku bahwa DPR masih terus berusaha untuk menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam proses. Beberapa di antaranya menuntaskan hak angket me- nyangkut penyelenggaraan ibadah haji 1429H/2008, hak angket DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan Pemerintah menaikkan harga BBM. Tapi belum lagi itu ditun-taskan, kini menggelinding usulan penggunaan hak angket soal dana talangan Bank Century Rp 6,7 triliun menjadi buah bibir dari berbagai kalangan politikus di DPR.
Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak angket nampak hanya menjadi se-
buah keputusan normatif tanpa ada solusi yang dapat diberikan. Padahal
peraturan Tata Tertib DPR menegaskan, hak angket digunakan untuk menyelidiki
“kebijakan pe-merintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan berma-syarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan”.
Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah “menyela-
matkan” Bank Century dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak Angket DPR ka-
rena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi kebija-
kan itu juga berkaitan dengan keuangan negara. Namun, apakah kebijakan itu benar-benar
bertentangan dengan UU sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus “dibukti-kan”
melalui penggunaan hak angket itu. Carut-marut pengucuran dana talangan Bank
Century yang menyeret keter-libatan beberapa pejabat negara, seperti guber-nur
BI dan Menkeu, mendorong sejumlah anggota Dewan menggulirkan hak angket untuk
mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi DPR menggali keterangan ahli dan
semua pihak terkait dengan aliran dana dan masalah lainnya yang terkait dengan
“penyelamatan” Bank Century. Harapannya dengan penggunaan hak angket muncul
konklusi yang lebih objektif, bukan asal kritis. Sebab, orientasi angket
menyelidiki dan mencari solusi. Keingintahuan DPR bukan sebatas mendengar
apologi pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya di balik
kebijakan pe-merintah terhadap pengawasan bank-bank selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank Century
dapat digunakan (atau tidak digunakan) oleh panitia angket DPR. Nantinya, DPR
da-pat saja berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain, bila hasil audit BPK berke-simpulan aliran dana pemerintah
ke Bank Century sudah sesuai dengan prosedur, kesimpulan itu dapat
dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres Boediono memiliki peran terkait
pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya menjadi Gubernur BI. Pada titik
inilah kehadiran Panitia Hak Angket DPR untuk menguak persoalan seputar
penyelamatan Bank Century menjadi amat penting
dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak angket kepada
pim-pinan DPR (12/11/2009). Jumlah anggota yang menandatangani usulan tersebut
di-kabarkan terus ber-tambah.
Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah menyata- kan bahwa penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem demokrasi (13/11/2009). Maka banyak pihak berharap Hak Angket DPR untuk kasus Century berhasil dilaksanakan, tidak kempis di tengah jalan seperti penggunaan hak angket pada masa sebelumnya. Modal kejujuran dan kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR selaku pemilik Hak Angket.
Efektifitas Hak Angket DPR dalam mengawasi kebijakan Pemerintah
Hak angket merupakan salah satu hak konstitusional Dewan Perwakilan
Rak-yat (DPR). Namun, dalam praktiknya upaya penggunaan hak angket hanya
menjadi mission impossible. Buktinya,
sejak digulirkan pertama kali pada tahun 1950an sam-pai sekarang Hak angket
tidak menemukan titik muara seperti apa yang telah termak-tub dalam UU No 6
tahun 1954 tentang Hak Angket maupun UU No 27 Tahun 2009. Hak angket seperti
hanya merupakan pelengkap dari parlemen dan mungkin saja hanya merupakan
permainan politik dari partai-partai yang menduduki kursi wakil rakyat tersebut.
Mengapa begitu sulit menggunakan hak angket? Sebetulnya, sebagaimana di-
nyatakan pada bagian awal, hak angket merupakan salah satu hak konstitusional
DPR. Pasal 20A UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran,
dan penga-wasan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut, DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan
pendapat. Bahkan, demi mendukung hak konstitusional itu, setiap anggota DPR
mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.
Kandasnya beberapa kali upaya usulan menggunakan hak angket membukti- kan
bahwa DPR gagal memaknai arti penting hak konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945. Bagaimanapun, hak angket adalah salah satu alat yang mesti digunakan
untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Apalagi kalau kebijakan pemerintah mem-
berikan dampak luas terhadap kehidupan masyarakat. Penggunaan hak itu menjadi
sebuah keniscayaan ka-lau kebijakan pemerintah diduga bertentangan dengan per-
aturan perundang-undangan.
Kalau kegagalan itu diletakkan dalam sistem pemerintahan, praktik sistem presidential Indonesia sedang berada
dalam jebakan parlementer. Maksudnya, mayo-ritas kekuatan politik di DPR lebih
berperan sebagai pendukung kebijakan pemerin-tah ketimbang menjadi mitra
kritis. Setidaknya, kegagalan usulan hak angket sebe-lum-sebelumnya memperkuat
anggapan yang berkembang selama ini bahwa DPR sulit (tidak mungkin) keluar dari
kepentingan politik pemerintah. Artinya, penilaian bahwa DPR merupakan tukang
stempel kebijakan pemerintah sulit dimentahkan.
Hal ini dibuktikan dengan lebih dari 70 persen anggota DPR periode 2009- 2014 berasal dari partai yang berkoalisi dengan pemerintali. Koalisi ini juga secara dominan “menguasai” kursi ketua komisi-komisi. Sembilan dari sebelas kursi ketua komisi diduduki wakil rakyat dari partai koalisi. Akibatnya, meskipun secara legal- formal kita berada dalam legislative heavy, secara praksis diperkirakan kita telah ber-alih ke executive heavy. Ibarat berada di kandang macan, kita sekarang berada di kan-dang yang macannya sudah dicabuti giginya. Macannya tetap sebagai macan, namun telah kehilangan kekuatannya. Bahkan, tidak lagi memiliki kemampuan mengunyah makanan. Itulah kira-kira analogi bagi DPR sekarang yang berada dalam atmosfer executive heavy.
Oleh karenanya, bukan ayat undang-undang yang diubah, sehingga lokus ke-
wenangan berubah, melainkan pengaruh terhadap orang di dalamnya yang berubah
dari potensial sebagai spoiler menjadi
suporter pemerintah. Dari potensi penentang menjadi pendukung. Adanya pengaruh
yang jauh meresap ke legislatif tersebut, dapat diartikan, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah berhasil melakukan hegemoni terhadap ruang kekuasaan
lain. Koalisi besar bermakna “penyatuan kembali” sepa-ration of power.
Pada posisi kondisi executive heavy
seperti ini, apa yang akan terjadi dalam berne-gara ke depan? Pertama, DPR yang isinya didominasi
“orang-orang presiden” diprediksi tidak mampu melaksanakan fungsi pengawasan.
Koalisi besar akan mem- belenggu wakil rakyat melalui fraksi-fraksi sebagai
kepanjangan tangan. Akibatnya, kemauan membela kepentingan rakyat semakin
lemah, kecerdasan dalam men- jalankan tugas-tugas sebagai legislator menjadi
tumpul, serta simpati dan empati ter-hadap kesulitan rakyat tak lebih sekadar
polesan citra. Kondisi ini memunculkan pesimisme. Pada saat hegemoni belum
terjadi, DPR telah memperlihatkan kelema- han, seperti interpelasi lumpur
Lapindo yang layu sebelum berkembang pada per- tengahan 2007, rontoknya usulan
penggunaan hak angket untuk menyelidiki pelang-garan dalam penunjukan
ExxonMobil Ltd sebagai pemimpin operator lapangan mi-nyak Blok Cepu pada Juni
2006, dan gagalnya hak angket impor beras, Januari 2006. Setelah era hegemoni
ini, catatan kelemahan diprediksi semakin panjang. Kedua, DPR tidak akan mampu menilai dan menyaring kritis RUU
inisiatif pemerintah. Ini kurang lebih menjadi sama seperti DPR era Orde Baru.
DPR tak lebih sebagai lembaga yang memuluskan keinginan pemerintah.
Ini akan berakibat produk legislasi yang dihasilkan cenderung akan kental
dengan kepentingan kelompok atau golongan. Saat DPR belum terhegemoni, produk
undang-undang seperti ini masih ada yang lolos, misalnya UU No 38 Tahun 2004
tentang Jalan yang isinya menetapkan bahwa tarif tol secara otomatis akan naik
setiap dua tahun. Setelah terhegemoni, UU yang aneh serta memberatkan rakyat
seperti itu berpotensi lebih banyak muncul. Maka selanjutnya, diprediksi banyak
anggota DPR yang kehilangan kemampuan “mengunyah makanan”. Mereka kehilangan
kemampu-an melaksanakan fungsi pengawasan dan legislasi. Tegasnya, DPR
2009-2014 akan didominasi oleh manusia instrumental, yang berperan sebagai alat
yang memuluskan berbagai kebijakan pemerintah. Executive heavy seperti ini jauh lebih berbahaya dari sebelumnya.
Penyatuan kekuasaan ini tersamar dalam separation
of power secara legal-formal. Akibatnya, otoriterisme yang amat mung- kin
semakin dekat, terbungkus dalam sistem yang terlihat demokratis. Secara
perlahan ke-ramaian bernegara akan berakhir dan menjadi hening. Pada saatnya,
sunyi, menjadi hal yang paling mengeri-kan. Posisi yang amat kuat berpotensi
tidak hanya menggerus segenap suara kritis, juga menjadikan suara kritis
tersebut aneh dan konyol.
Banyak pihak mengatakan bahwa civil
society dapat memerankan diri sebagai pressure
group agar DPR kembali bergairah melaksanakan kebebasannya sebagai wakil
rakyat. Meskipun agak pesimistis, karena civil
society tidak memiliki instrumen yang efek-tif untuk melakukan hal itu,
namun sehelai harapan tetap perlu digantung-kan. Harapan tipis itu kiranya
dapat kita sangkutkan pada wakil rakyat yang partai-nya tidak tergabung dalam
koalisi pemerintah, yaitu, PDI-P, Gerindra, dan Hanura, meskipun ketiga partai
ini tidak terlalu besar memberikan harapan.
Lebih memprihatinkan lagi, bisa jadi, bagi beberapa anggota hak angket
di- gunakan untuk memperkuat bargaining dengan
pemerintah. Pada konteks tersebut, sebagian anggo-ta DPR cuma membonceng hak
angket untuk dijadikan alat bargain- ning
politik atau uang. Buktinya, banyak anggota DPR yang menggebu-gebu pada
awal pengajuan hak angket, namun akhirnya berubah sikap. Kegagalan-kegagalan
hak angket terdahulu dan mandeknya hak angket Century dapat memperkuat pendapat
tersebut.
Selain besarnya godaan bagi anggota DPR, kesulitan lain untuk mendorong
penggunaan hak angket adalah manuver pemerintah. Sejak semula, sudah ada upaya
untuk merangkul semua kekuatan politik di DPR. Upaya itu dilakukan dengan me-
nempatkan wakil partai politik untuk menjadi anggota kabinet. Dengan pembagian
itu, baik langsung maupun tidak langsung, partai politik yang punya kursi di
kabinet akan kesulitan bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah. Sejauh
ini, sikap “abu-abu” cenderung dipertontonkan oleh F-PPP, F-PAN, dan F-KB (Toto
Sugiarto, 2009).
Cara pandang yang lebih sederhana, kalau partai politik sudah mendapatkan
kursi di kabinet, berarti partai bersangkutan sudah menyatakan bergabung dan
me- nundukkan diri untuk mendukung kebijakan pemerintah. Pendapat ini menjadi
ma- kin kuat karena kebe-radaan fraksi (sebagai perpanjangan kepentingan partai
politik) begitu dominan dalam pro-ses pengambilan keputusan di DPR. Karena
posisi demi-kian, fraksi selalu dijadikan alat oleh berbagai kepentingan untuk
melumpuhkan se-gala macam pemikiran kritis yang berkembang di DPR.
Untuk memperbaiki praktik ketatanegaraan ke depan, anggota DPR yang akan
menggunakan hak angket perlu mengubah cara yang ditempuh selama ini. Salah satu
caranya, mengelaborasi secara mendalam tentang makna "kebijakan pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat
dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan". Kalau itu bisa dilakukan, upa-ya setiap pengusul hak
angket akan semakin mendapai tempat di mata publik.
Pada akhirnya hak angket lebih cenderung bersifat politis. Para pemegang
hak ter-sebut hanya cari aman saja, baik berlindung di ketiak pemerintah agar
mendapat jatah kursi kabinet, maupun berlindung atas nama rakyat untuk menarik
simpati, se-hingga pemilu selanjutnya dapat meraih suara yang diharapkan bisa
lebih mending-krak perolehan suara mereka. Politik dan parlemen sesuatu yang
tidak bisa dipisah-kan, keduanya berbanding lurus. Semakin banyak anggota
parlemen, maka kekuatan politis akan semakin kuat. Seperti hal-nya
pemerintahan
pada periode
2009-2014, kekutan politik begitu besar baik pada pemerintah maupun parlemen.
Kedua lembaga negara tersebut berasal dari partai yang sama sehingga ada
semacam keraguan dari DPR untuk memeriksa bahkan mengawasi pun terkesan hanya setengah-setengah.
Efektif atau tidak hak angket selama ini jelas mendapat penafsiran yang
ber- beda. Pemerintah akan beranggapan bahwa setiap kebijakan yang mereka ambil
telah sesuai dengan Undang-Undang, sehingga tidap perlu dipertanyakan lagi dan
tidak perlu adanya hak angket. Sedangkan DPR akan beranggapan bahwa mereka
sudah melakukan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku, jadi hak angket telah
efektif normatif.
Comments
Post a Comment