Pengemban Hukum Praktis
Sebelumnya
telah disinggung pengembang hukum teoritis yang masing-maisng dengan perannya
telah berfungsi sebagai sarana intelektual untuk menuntut kegiatan pengembanan
hukum praktis. Sebaliknya, pengembanan hukum praktis menyediakan bahan-bahan
empiris untuk diolah dalam pengembanan hukum teoritis
Pengembanan hukum praktis di Indonesia dijalankan terutama oleh empat prganisasi, yaitu institusi dibidang: 1) perundang-undangan; 2) peradilan; 3) bantuan hukum dan 4) pemerintahan umum. Deksripsi masing-masing institusi tersebut diutarakan sebagai berikut.
Kedua pasal di atas menandai pembalikan fungsi pembentukan hukum (undang-undang) yang semula terutama berada di tangan Presideb, sekarang beralih ke DPR. Untuk itu, kedudukan DPR sangat penting dalam pengembanan hukum praktis. Secara kelembagaan, DPR telah memfasilitasi diri dengan alat perlengkapan yang disebut Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Untuk melaksanakan tugas Baleg DPR dapat mengadakan koordinasi dengan pihak pemerintah atau pihak lain yang dianggap perlu mengenai hal yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui Pimpinan DPR. Dalam menjalankan tugas, Baleg DPR dibantu oleh tim asistensi dari Sekretariat Jendral DPR, dibawah koordinasi Asisten I Bidang Perundag-undangan.
Sayangnya keinginan DPR untuk menjadi “produsen” UU dalam jumlah 225 tidak berkorelasi positif dengan kinerjanya. Dipihak pemerintah sendiri, koordinasi dalam rangka mengakselerasi pembentukan UU memang masih lemah. Hal ini terlihat dari “tarik menarik” Departemen Kehakiman dan HAM dengan Sekretariat Negara.
Tidak optimalnya kinerja institusi pemmbentuk UU di Indonesia, menurut pengamatan Mochtar Kusumaatmadja, tidak terlepas dari 4 faktor sebagai berikut:
Diluar factor-faktor tersebut, terutama pada saat perekonomian Indonesia sangat bergantung pada bantuan negara/lembaga asing, praktis indepedensi institusi pembentuk undang-undang di Indonesia makin merosot. Negara/lembaga asing ternyata dapat mengintervensi kebijakan pembentukan hukum dengan mengaitkan bantuan ekonomi terhadap keberadaan suatu produk undang-undang.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, lembaga peradilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia karena ia melakukan fungsi yang ada pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum dan penemuan hukum.. dengan perkataan lain, hakim dalam sistem hukum Indonesia yang pada dasarnya bersifat tertulis itu mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).
UUD 1945 memberikan landasan konstitusional bahwa kekuasaan kehakiman (termasuk peradilan) adalah kekuasaan yang merdeka. Sekalipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli terhadap kekuasaan kehakiman di Indonesia pada umumnya dan badan-badan peradilan pada khususnya, justru menunjukan dependensi yang tinggi terhadap kekuasaan eksekutif. Padahal supremasi negara hukum yang menjadi amanat konstitusi mutlak baru dapat dicapai jika lembaga peradilan diberikan kekuasaan yang merdeka.
Kegiatan penalaran hukum di lingkungan Peradilan di Indonesia, dengan demikian akan melibatkan banyak sekali institusi. Di luar tiga lembaga yang didirikan atas dasar amanat konstitusi tersebut, masih terdapat badan-badan yang disebut pengadilan kuasi, baik yang bersifat self-regulatory body maupun bukan.
Penalaran hukum yang dilakukan dakam lingkup peradilan pada akhirnya membutuhkan analisis mendalam, tidak hanya terhadap struktur aturan dan struktur fakta kasus demi kasus melainkan harus menukik kepada pemahaman filosofis dari lembaga tempat kasus itu sedang ditangani. Pendekatan penyelesaian kasus yang dilakukan oleh hakim-hakim yang bersifat adjudiskasi seperti pengadilan konvensional (win-lose solution) tentu berbeda dnegan mereka yang memposisikan diri sebagai konsiliator dan mediator (win-win solution)
Diluar pengacara/advokat, sebenarnya terdapat profesi lain yang menjalankan fungsi bantuan hukum. Mereka adalah notaris (notary public) dan konsultan hukum. profesi notaris nyaris tidak dibicarakan disini karena sifat bantuan hukum yang diberikannya tidak terlampau menonjol dalam praktik keseharian mereka.
Berbeda dengan organisasi profesi seperti kedokteran dan insinyur, profesi pengacara/advokat mempunyai banyak afisilasi organisasi. Keberagaman ini disadari sebagai kelemahan tersendiri dalam kedewasaan suatu profesi, sehingga dalam beberapa kesempatan, pemerintah melakukan inisiatif untuk mempersatukan mereka dalam satu wadah yang solid. Namun, seperti sinyalemen dimuka, usaha ini tidak tampak sungguh-sungguh.
Diluar itu, disengaja atau tidak, marginalisasi peran pengacara/advokat juga terjadi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Sekalipun Pasal 69 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) memberi hak kepada penasihat hukum untuk menghubungi tersangka sejak saat tersangka itu ditahan pada semua tingkat pemeriksaan, dalam kenyataannya kebijakan ini tidak terlalu disenangi oleh penguasa sendiri. Oleh karena solidaritas organisasi yang sangat minimal, maka tidak mengherankan pula jika peran organisasi profesi pengacara/advokat dalam pembinaan kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia sangat terbatas pula.
Dalam situasi yang abnormal tersebut pada akhirnya penalaran hukum yang tepat tidak pula terlalu dipentingkan dalam organisasi pengacara.advokat di Indonesia. Syarat-syarat menjadi anggota profesi sangat longgar. Penyimpangan etika profesi oleh anggota-anggotanya diberi toleransi tinggi. Profesi ini bahkan terlibat lebih jauh dalam praktk illegal dalam penanganan perkara di lembaga peradilan.
Khusus terkait dengan pemerintah yang disimbolkan dengan lembaga Kepresidenan di puncaknya, maka ada dua fungsi berbeda yang dijalankannya. Kedua fungsi tadi adalah sebagai: (1) penguasa pemerintahan (eksekutif); dan (2) penguasa administrasi negara. Fungsi pertama adalah pelaksanaan undang-undang dan menetapkan strategi (policy) pelaksanaan undang-undang, merumuskan rencana, program budget, dan instruksi untuk administrasi negara dan angkatan perang. Fungsi kedua adalah realisasi undang-undang dengan menjalankan kehendak dan perintah pemerintah (penguasa pemerintahan atau eksekutif) sesuai peraturan, rencana, program budget, dan instruksi secara nyata, kasuisitis, dan individual. Produknya berupa penetapan, tata usaha negara, pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pekerjaan dan kegiatan-kegiatan nyata.
Menurut Prajudi hamper dalam semua bidang tugas dan fungsi pemerintahan itu terdapat segi-segi (1) pemerintahan; (2) tata usaha negara; (3) kerumahtanggaan negara; (4) pembangunan dan (5) kelestarian lingkungan hidup. Apabila dituangkan di dalam tabel, pernyataan Prajudi tersebut adalah sebagai berikut
Diantara
kelima segi fungsi pemerintahan itu, yang erat kaitannya dengan topik penalaran
hukum ini adalah fungsi pertama. Uraian tugas-tugas ini sangatlah luas,
sehingga dalam kesempatan ini hanya disoroti bentuk tugas pertama, yaitu dalam
pmebentukan peraturan. Tugas ini dapat dijelaskan dengan melihat perbuatan
hukum apa saja yang dapat dijalankan oleh administrasor negara itu.
Menurut Maria Indrati Soepraptop yang menyetir pemikiran A. Hamid S. Attamimi, istilah keputusan dalam arti luas mencakup peraturan dan penetapan. Seorang pejabat administrasi negara dalam membuat keputusan, memperoleh kewenangan yang didelegasikan atau diatribusikan oleh peraturan di atasnya. Materi undang-undang biasanya memang memberi delegasi dan atribusi seperti ini, mengingat hal-hal yang bersifat teknis lazimnya dihindari untuk dirumuskan dalam undang-undang. Pengaturan lebih lanjut itu ada yang harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk peraturan pemerintah atau keputusan presiden.
Dalam kenyataannya, tidak semua materi terakomodasi secara lengkap dan jelas dalam peraturan tertulis. Dapat terjadi delgasian dan atribusian itu belum ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pelaksanaan atau peraturan yang ada tidak memuat kejelasan apapun. Untuk itulah, dengan kewenangan diskresioner yang dimilikinya, pejabat administrasi negara diperbolehkan memuat kebijakan dalam rangka mengambil tindakan mendesak
Kebijakan ini merupakan produk penalaran hukum juga, yang isinya lebih konkret daripada peraturan perundang-undangan karena menyangkut segi-segi teknis yang harus dilakukan di tengah ketiadaan peraturan perundang-undangan. Mengingat demikian terbukanya kesempatan seorang pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan umum untuk membuat kebijakan-kebijakan yang membahayakan hak-hak warga negara, maka kewenangan diskresioner ini perlu dicermati secara hati-hati.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini merupakan prinsip yang abstrak, sehingga tugas pejabat administrasi negara itulah untuk membuat interpretasi, disesuaikan dengan situasi konkret yang dihadapinya. Dengan demikian, kebijakan yang ditelurkannya adalah penalaran hukum juga. Penalaran yang termuat di dalamnya dapat saja keliru karena tidak sejalan dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Oleh sebab itu, penalaran demikian dapat dipertanyakan di forum pengadilan sesuai dengan kompetensinya atau lembaga lain yang memberi akses kea rah itu.
Pengembanan hukum praktis di Indonesia dijalankan terutama oleh empat prganisasi, yaitu institusi dibidang: 1) perundang-undangan; 2) peradilan; 3) bantuan hukum dan 4) pemerintahan umum. Deksripsi masing-masing institusi tersebut diutarakan sebagai berikut.
- Pembentuk Undang-undang
Kedua pasal di atas menandai pembalikan fungsi pembentukan hukum (undang-undang) yang semula terutama berada di tangan Presideb, sekarang beralih ke DPR. Untuk itu, kedudukan DPR sangat penting dalam pengembanan hukum praktis. Secara kelembagaan, DPR telah memfasilitasi diri dengan alat perlengkapan yang disebut Badan Legislatif (Baleg) DPR.
Untuk melaksanakan tugas Baleg DPR dapat mengadakan koordinasi dengan pihak pemerintah atau pihak lain yang dianggap perlu mengenai hal yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui Pimpinan DPR. Dalam menjalankan tugas, Baleg DPR dibantu oleh tim asistensi dari Sekretariat Jendral DPR, dibawah koordinasi Asisten I Bidang Perundag-undangan.
Sayangnya keinginan DPR untuk menjadi “produsen” UU dalam jumlah 225 tidak berkorelasi positif dengan kinerjanya. Dipihak pemerintah sendiri, koordinasi dalam rangka mengakselerasi pembentukan UU memang masih lemah. Hal ini terlihat dari “tarik menarik” Departemen Kehakiman dan HAM dengan Sekretariat Negara.
Tidak optimalnya kinerja institusi pemmbentuk UU di Indonesia, menurut pengamatan Mochtar Kusumaatmadja, tidak terlepas dari 4 faktor sebagai berikut:
- Sejak tahun 1980 komitmen atau kemauan politik untuk melakukan pembaruan hukum melalui perundang-undangan secara berencana tampak agak mengendur, kecuali yang berkaitan langsung dengan politik, seperti RUU Pemilu dan lain sebagainya.
- Sarana penyusunan RUU yang berada di departemen-departemen atau lemabaga-lemabaga pemerintah diluar Departemen Kehakiman tidak atau kurang mendapat perhatian. Rencana untuk memperhatikan dan meningkatkan status dan kemampuan direktorat atau biro-biro hukum tidak sempat dilaksanakan.
- Tata tertib dan program kerja DPR menjadi sangat ketat penjadwalannya, sehingga waktu untuk membicarakan RUU sangat kurang. Kurang adanya fleksibilitas sehingga tidak mungkin menampung naskah RUU yang perlu dibicarakan. Dengan sendirinya produksi RUU di DPR menurun.
- Kekhawatiran bahwa ada usaha untuk menjadikan BPHN sebagai pusat perundang-undangan nasional di tahun 1982 menimbulkan tandatanya pada banyak departemen terutama di direktorat hukum dan perundang-undangan tentang kebijakan di bidang perundang-undangan yang akan ditempuh.
Diluar factor-faktor tersebut, terutama pada saat perekonomian Indonesia sangat bergantung pada bantuan negara/lembaga asing, praktis indepedensi institusi pembentuk undang-undang di Indonesia makin merosot. Negara/lembaga asing ternyata dapat mengintervensi kebijakan pembentukan hukum dengan mengaitkan bantuan ekonomi terhadap keberadaan suatu produk undang-undang.
- Peradilan
Menurut Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, lembaga peradilan mempunyai kedudukan penting dalam sistem hukum Indonesia karena ia melakukan fungsi yang ada pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum tertulis melalui pembentukan hukum dan penemuan hukum.. dengan perkataan lain, hakim dalam sistem hukum Indonesia yang pada dasarnya bersifat tertulis itu mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of new law).
UUD 1945 memberikan landasan konstitusional bahwa kekuasaan kehakiman (termasuk peradilan) adalah kekuasaan yang merdeka. Sekalipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli terhadap kekuasaan kehakiman di Indonesia pada umumnya dan badan-badan peradilan pada khususnya, justru menunjukan dependensi yang tinggi terhadap kekuasaan eksekutif. Padahal supremasi negara hukum yang menjadi amanat konstitusi mutlak baru dapat dicapai jika lembaga peradilan diberikan kekuasaan yang merdeka.
Kegiatan penalaran hukum di lingkungan Peradilan di Indonesia, dengan demikian akan melibatkan banyak sekali institusi. Di luar tiga lembaga yang didirikan atas dasar amanat konstitusi tersebut, masih terdapat badan-badan yang disebut pengadilan kuasi, baik yang bersifat self-regulatory body maupun bukan.
Penalaran hukum yang dilakukan dakam lingkup peradilan pada akhirnya membutuhkan analisis mendalam, tidak hanya terhadap struktur aturan dan struktur fakta kasus demi kasus melainkan harus menukik kepada pemahaman filosofis dari lembaga tempat kasus itu sedang ditangani. Pendekatan penyelesaian kasus yang dilakukan oleh hakim-hakim yang bersifat adjudiskasi seperti pengadilan konvensional (win-lose solution) tentu berbeda dnegan mereka yang memposisikan diri sebagai konsiliator dan mediator (win-win solution)
- Bantuan Hukum
Diluar pengacara/advokat, sebenarnya terdapat profesi lain yang menjalankan fungsi bantuan hukum. Mereka adalah notaris (notary public) dan konsultan hukum. profesi notaris nyaris tidak dibicarakan disini karena sifat bantuan hukum yang diberikannya tidak terlampau menonjol dalam praktik keseharian mereka.
Berbeda dengan organisasi profesi seperti kedokteran dan insinyur, profesi pengacara/advokat mempunyai banyak afisilasi organisasi. Keberagaman ini disadari sebagai kelemahan tersendiri dalam kedewasaan suatu profesi, sehingga dalam beberapa kesempatan, pemerintah melakukan inisiatif untuk mempersatukan mereka dalam satu wadah yang solid. Namun, seperti sinyalemen dimuka, usaha ini tidak tampak sungguh-sungguh.
Diluar itu, disengaja atau tidak, marginalisasi peran pengacara/advokat juga terjadi dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Sekalipun Pasal 69 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) memberi hak kepada penasihat hukum untuk menghubungi tersangka sejak saat tersangka itu ditahan pada semua tingkat pemeriksaan, dalam kenyataannya kebijakan ini tidak terlalu disenangi oleh penguasa sendiri. Oleh karena solidaritas organisasi yang sangat minimal, maka tidak mengherankan pula jika peran organisasi profesi pengacara/advokat dalam pembinaan kurikulum pendidikan tinggi hukum di Indonesia sangat terbatas pula.
Dalam situasi yang abnormal tersebut pada akhirnya penalaran hukum yang tepat tidak pula terlalu dipentingkan dalam organisasi pengacara.advokat di Indonesia. Syarat-syarat menjadi anggota profesi sangat longgar. Penyimpangan etika profesi oleh anggota-anggotanya diberi toleransi tinggi. Profesi ini bahkan terlibat lebih jauh dalam praktk illegal dalam penanganan perkara di lembaga peradilan.
- Pemerintahan Umum
Khusus terkait dengan pemerintah yang disimbolkan dengan lembaga Kepresidenan di puncaknya, maka ada dua fungsi berbeda yang dijalankannya. Kedua fungsi tadi adalah sebagai: (1) penguasa pemerintahan (eksekutif); dan (2) penguasa administrasi negara. Fungsi pertama adalah pelaksanaan undang-undang dan menetapkan strategi (policy) pelaksanaan undang-undang, merumuskan rencana, program budget, dan instruksi untuk administrasi negara dan angkatan perang. Fungsi kedua adalah realisasi undang-undang dengan menjalankan kehendak dan perintah pemerintah (penguasa pemerintahan atau eksekutif) sesuai peraturan, rencana, program budget, dan instruksi secara nyata, kasuisitis, dan individual. Produknya berupa penetapan, tata usaha negara, pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pekerjaan dan kegiatan-kegiatan nyata.
Menurut Prajudi hamper dalam semua bidang tugas dan fungsi pemerintahan itu terdapat segi-segi (1) pemerintahan; (2) tata usaha negara; (3) kerumahtanggaan negara; (4) pembangunan dan (5) kelestarian lingkungan hidup. Apabila dituangkan di dalam tabel, pernyataan Prajudi tersebut adalah sebagai berikut
Administrasi pemerintahan
| Peraturan Pembinaan masyarakat Kepolisian Peradilan | |
Administrasi ketatausahaan negara
| Pendaftaran / registrasi Inventarisasi Statisasi Pengarsipan Dokumentasi Legalisasi Korespondensi Peristiwa | |
Administrasi kerumahtanggaan negara
| Rumah tangga intern (personil, keuangan, material, pergedungan, perumahan) Rumah tangga ekstern yang dijalankan secara bisnis (diurus oleh dinas-dinas, lembaga-lembaga, BUMN, dan BUMD) | |
Administrasi pembangunan
| Perencanaan oleh Bappenas / BappedaProyek-proyek | |
Administrasi lingkungan
| Penyehatan lingkunganPelestarian lingkunganPenatatertiban lingkungan |
Menurut Maria Indrati Soepraptop yang menyetir pemikiran A. Hamid S. Attamimi, istilah keputusan dalam arti luas mencakup peraturan dan penetapan. Seorang pejabat administrasi negara dalam membuat keputusan, memperoleh kewenangan yang didelegasikan atau diatribusikan oleh peraturan di atasnya. Materi undang-undang biasanya memang memberi delegasi dan atribusi seperti ini, mengingat hal-hal yang bersifat teknis lazimnya dihindari untuk dirumuskan dalam undang-undang. Pengaturan lebih lanjut itu ada yang harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk peraturan pemerintah atau keputusan presiden.
Dalam kenyataannya, tidak semua materi terakomodasi secara lengkap dan jelas dalam peraturan tertulis. Dapat terjadi delgasian dan atribusian itu belum ditindaklanjuti dalam bentuk peraturan pelaksanaan atau peraturan yang ada tidak memuat kejelasan apapun. Untuk itulah, dengan kewenangan diskresioner yang dimilikinya, pejabat administrasi negara diperbolehkan memuat kebijakan dalam rangka mengambil tindakan mendesak
Kebijakan ini merupakan produk penalaran hukum juga, yang isinya lebih konkret daripada peraturan perundang-undangan karena menyangkut segi-segi teknis yang harus dilakukan di tengah ketiadaan peraturan perundang-undangan. Mengingat demikian terbukanya kesempatan seorang pejabat administrasi negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan umum untuk membuat kebijakan-kebijakan yang membahayakan hak-hak warga negara, maka kewenangan diskresioner ini perlu dicermati secara hati-hati.
Asas-asas umum pemerintahan yang baik ini merupakan prinsip yang abstrak, sehingga tugas pejabat administrasi negara itulah untuk membuat interpretasi, disesuaikan dengan situasi konkret yang dihadapinya. Dengan demikian, kebijakan yang ditelurkannya adalah penalaran hukum juga. Penalaran yang termuat di dalamnya dapat saja keliru karena tidak sejalan dengan asas-asas pemerintahan yang baik. Oleh sebab itu, penalaran demikian dapat dipertanyakan di forum pengadilan sesuai dengan kompetensinya atau lembaga lain yang memberi akses kea rah itu.
Comments
Post a Comment