Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum

A. Relevansi Studi Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum 
   Seperti sudah dijelaskan pada bagian latar belakang, logika dan penalaran hukum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi hukum. Marry Massaron Ross dalam ‘A Basis for Legal Reasoning: Logic on Appeal’, mengutip Wedell Holmes, menyatakan bahwa training bagi para lawyer tidak lain dari training logika. Ross menambahkan bahwa logika yang perlu diberikan kepada para lawyer, mahasiswa, bahkan juga hakim dan calon hakim (termasuk mahasiswa hukum) adalah analogi, “diskriminasi” (disanalogi), dan deduksi. Karena bahasa putusan pengadilan pada dasarnya adalah bahasa logika. Pandangan tradisional bahwa hukum berisikan premis-premis yang komplet, formal, dan sistem yang teratur secara konseptual, memuaskan, normatif, objektif dan konsisten, perlu dipikirkan ulang. Anggapan bahwa sebagai sistem hukum dipercaya mampu memberikan solusi dan jawaban yang tepat dan benar bagi semua probem hukum terutama kasus yang di bawa ke pengadilan, sudah jauh ditinggalkan. Pandangan Justice Holmes bahwa “nafas hukum bukan persoalan logis melainkan persoalan pengalaman” sudah ditentang berbagai pihak. Ross (2006), sebagai seorang praktisi hukum, mengatakan bahwa proses pengadilan di tingkat banding, lebih bekerja berdasarkan statuta, konstitusi tertulis, dan prinsip-prinsip logika untuk mengungkap kebenaran sebuah kasus dari pada pengalaman atau kenyataan. Dalam proses pengadilan tingkat pertama misalnya, unsur logis (logos), persuasi (rhetoric), emosi (pathos) dan karakter-personal (etos) ikut berperan sebagai sarana advokasi. Tetapi tidak demikian halnya jika proses pengadilan sudah memasuki tahap banding. Dalam proses pengadilan di tingkat banding, pemahaman terhadap logika dan penalaran hukum menjadi syarat utama. Karena yang diperiksa bukanlah perkara melainkan memeriksa pemeriksaan perkara. Dalam proses ini semua argumen logis diperiksa keabsahan dan kebenarannya. Ross (2006) menulis, “Thus, logic is critical on appeal. As a result, appellate advocates mustlearn how to best frame their arguments in the classic style of logic. Advocates who seek to prevail must test the logic of their arguments.Advocates must also search out any weakness in the logic of their opponent’sargument. The ability to engage in such analytically precise and logicalthinking is a hallmark of good advocacy. Like any skill, it requires practiceand training. Study of books on rhetoric and logic is helpful”.
    Terlepas dari pro kontra tentang logika, penalaran, dan argumentasi hukum, penalaran hukum mesti diajarkan kepada mahasiswa hukum. Peter Nash Swisher (1981) menegaskan bahwa mahasiswa hukum perlu diajarkan prinsipprinsip logika dasar dan penalaran hukum. Ibarat seorang perenang yang perlu mempelajari teknik dan cara berenang agar tetap survive, demikian juga mahasiswa hukum perlu dibekali dengan pemahaman dan keterampilan penalaran hukum agar bisa survive. Keterampilan dasar dan elementer dalam penalaran hukum lebih baik diberikan kepada mahasiswa hukum dari pada tidak memilikinya sama sekali. Dengan logika dan penalaran hukum, mahasiswa dan para praktisi hukum mampu memahami hukum secara kritis dan rasional serta menunjukkan dasar-dasar pembenaran suatu klaim hukum. Dalam konteks yang lebih luas, menurut Patterson (1942), logika berperan sebagai alat untuk mengontrol emosi, perasaan, prasangka, bahkan juga passion manusia yang berkecamuk dalam perumusan, pelaksanaan, dan penerapan hukum. Pertimbangan dan penalaran logis menjamin objektivitas dan imparsialitas hukum. Karena dengan penalaran logika, hukum tak lagi mendasarkan diri pada kepentingan dan pertimbangan lain di luar nalar dan akal sehat. Dengan logika, kepastian hukum pada akhirnya didasarkan pada relasi antara keduanya dalam proposisi logis yang dirumuskan secara objektif. Legislasi, Undangundang, laporan pengadilan menggunakan proposisi-proposi tentang sesuatu yang diperbolehkan atau ditolak. Undang-undang, statuta, aturan, atau apa pun bentuknya merupakan petunjuk bagi prilaku yang dirumuskan dalam bentuk proposisi-proposisi. Undang-undang atau aturan tersebut merupakan bagian dari alat untuk mengontrol prilaku. Karena proposisi-proposisi tersebut sangat boleh jadi kontradiktif (entah sebagian atau seluruhnya jika ditempatkan dalam konteks aturan secara keseluruhan), perlu dipilih di antara berbagai alternatif, dan memiliki anteseden dan konsekuensi-konsekuensi logis, maka melalui tindak putusan (the act of judgement), proposisi-proposisi tersebut menjadi praktis. Konsekuensi-konsekuensi, pada dasarnya merupakan sebuah model logis yang hadir secara implisit dalam pemerintahan oleh hukum sebagai mana yang kita ketahui.  Entah sadar atau tidak, para hakim dan lawyer sesungguhnya bekerja berdasarkan metode berpikir lurus dan tepat tersebut.

B. Apakah Logika dan Penalaran Hukum itu?
     Pertanyaan pokok yang perlu dijawab terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh adalah apakah logika dan penalaran hukum itu? Secara etimologis, logika berasal dari kata Yunani logikos yang berarti “berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Kata Latin logos (logia) berarti perkataan atau sabda. David Stewart dan H. Gene Blocker dalam buku Fundamentals of Philosophy merumuskan logika sebagai thinking about thinking. Patterson merumuskan logika sebagai “aturan tentang cara berpikir lurus” (the rules of straight thinking). Irving M. Copi dalam buku Introduction to Logic merumuskan logika sebagai ‘ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah’. Sementara penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap term dalam suatu proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain dan menarik kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi tersebut. Dengan demikian jelas bahwa penalaran merupakan sebuah bentuk pemikiran. Bentuk pemikiran yang lain adalah pengertian atau konsep dan proposisi atau pernyataan. Pengertian, proposisi, dan penalaran memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Karena penalaran mensyaratkan proposisi dan proposisi mengandaikan pengertian. ‘Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa proposisi’. Penalaran hukum adalah penerapan prinsip-prinsip berpikir lurus (logika) dalam memahami prinsip, aturan, data, fakta, dan proposisi hukum. Dalam penalaran hukum, logika dipahami secara lebih sempit yakni sebagai ilmu tentang penarikan kesimpulan secara valid dari berbagai data, fakta, persoalan, dan proposisi hukum yang ada. Maka istilah ‘penalaran hukum’ (‘legal reasoning’) sejatinya tidak menunjukkan bentuk penalaran lain di luar logika, melainkan penerapan asas-asas berpikir dari logika dalam bidang hukum itu sendiri. Dalam arti ini tidak ada penalaran hukum tanpa logika (sebagai ilmu tentang kaidah berpikir yang tepat dan valid); tidak ada penalaran hukum di luar logika. Penalaran hukum dengan demikian harus dipahami dalam pengertian ‘penalaran (logika) dalam hukum’.

C. Dua Bentuk Dasar Penalaran: Induksi dan Deduksi
    Para logikawan umumnya membagi penalaran kedalam dua kategori utama yakni penalaran induksi dan penalaran deduksi. Penalaran induktif didasarkan pada generalisasi pengetahuan atau pengalaman yang sudah kita miliki. Berdasarkan pengetahuan atau pengalaman yang kita miliki tersebut, dirumuskan atau disimpulkan suatu pengetahuan atau pengalaman baru. Atau dengan rumusan lain, induksi adalah proses penarikan kesimpulan universal beradasarkan pengalaman, data, fakta, atau pengetahuan terbatas sebagai premis yang kita miliki. Contoh: Premis : Doni, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Jodi, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Johan, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Budi, melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum, Kesimpulan: Semua orang yang melanggar lalu lintas, bukanlah orang yang menaati hukum. Contoh di atas merupakan induksi dalam pengertian generalisasi induksi. Generalisasi induksi umumnya disingkat dengan induksi saja. Generalisasi induktif merupakan sebuah proses penarikan kesimpulan umum (universal) dari data, fakta, kenyataan tertentu atau beradasarkan proposisi singular. Proses penalaran generalisasi induktif bersumber dari prosedur kerja ilmu (science). Para ilmuwan melakukan observasi atas berbagai data atau fakta tertentu kemudian merumuskan hipotesis tentang hasil observasi atas fakta tersebut. Perumusan hipotesis tersebut merupakan sebuah bentuk penaralan induktif. 

D. Penalaran Hukum
    Penalaran hukum memperlihatkan eratnya hubungan antara logika dan hukum. Logika sebagai ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat dapat memikirkan hukum. Atau sebaliknya, ide, gagasan, dan opini hukum pada dasarnya bersifat logis juga. Hans Kelsen dalam buku Essay in Legal and Moral Philosophy menulis bahwa ’sifat logis’ merupakan sifat khusus hukum; yang berarti bahwa dalam relasi-relasi timbal-balik mereka, norma-norma hukum sesuai dengan asas-asas logika”. Dengan penalaran hukum, hukum tidak dipahami sekedar soal hafalan pasal-pasal belaka; hukum juga bukan sekedar aturan-aturan atau norma-norma yang ditetapkan oleh otoritas tertinggi (dewa-dewi, alam semesta, Tuhan, Legislator, dan sebagainya) sehingga ‘wajib’ diikuti melainkan hukum pun harus mendasarkan diri pada sifat logis. Logis seharusnya menjadi salah satu karakter atau sifat dasar hukum. Apa yang dimaksud dengan penalaran hukum itu? M. J. Peterson dalam artikel online-nya tentang penalaran hukum, merumuskan penalaran hukum sebagai the particular method of arguing used when applying legal rules to particular interactions among legal persons.26 Lief H. Carter dan Thomas F. Burke dalam buku Reason in Law (2002 6th ed.) merumuskan penalaran hukum sangat eksklusif. Penalaran hukum diartikan sebagai ‘cara lawyer dan hakim membicarakan hukum di ruang publik’. Lebih lanjut Carter dan Burke menyatakan bahwa bahasa dan penalaran hukum memperlihatkan apakah putusan hukum imparsial atau partisan, legitim atau tidak, tepat atau tidak. Peter Wahlgren dari Stockholm Institute for Scandianvian Law dalam artikelnya tentang Legal Reasoning, menyatakan bahwa penalaran hukum merupakan istilah yang dipakai untuk melabeli banyak aktivitas dalam bidang hukum: proses mental yang bekerja dalam pengambilan keputusan hukum; identifikasi kasus, interpretasi, atau mengevalusi fakta hukum; pilihan aturan hukum, dan penerapan hukum dalam kasus-kasus konkret; penyusunan sebuah pertimbangan, argumen, opini atau pendapat hukum. Tetapi semua aktivitas ini didasarkan para cara bernalar yang tepat (logika).

Comments

Popular posts from this blog

Teori dan Prinsip HAM

Pengemban Hukum Praktis