Pengembanan Hukum Teoritis
Berbicara tentang pengembanan hukum teoritis, berarti
berbicara tentang aktivitas ilmuwan, teoritisi dan filsuf hukum dalam
pengkajian hukum di Indonesia. Dapat diduga bahwa komunitas pengemban hukum
teoritis ini ada di lingkungan perguruan tinggi hukum, khususnya di sejumlah
universitas nasional terkemuka.
Menurut hasil studi tentang perkembangan hukum Indonesia yang didanai Bank Dunia (1996), terdapat lebih dari 100 lembaga pendidikan tinggi hukum di seluruh Indonesia yang mampu meluluskan sekitar 13.000 sarjana hukum setiap tahunnya. Dari mereka inilah kemudian tumbuh generasi-generasi baru para pengemban hukum praktis dan teoritis di Indonesia. Mereka menjadi tenaga-tenaga professional dibidang hukum, seperti praktisi atau sebagai tenaga pengajar dan peneliti.
Untuk melihat kondisi pengemban hukum teoritis di Indonesia, salah satu cara yang mudah adalah dengan menyoroti kondisi pengkajian disiplin hukum, yakni dari sudut penelaahan ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Hubungan antara ketiga cabang disiplin hukum ini tekah disinggung dalam paparan Bab I dan III dengan mengambil bahan-bahan hasil penelitian B. Arief Shidarta.
Menurut catatan Soetandyo, daftar lulusan RH pada tahun 1928 menunjukkan bahwa antara tahun 1912 (tahun pertama kali ujian akhir diselenggarakan) dan tahun 1928 (saat RH ditutup) lembaga ini telah berhasil mencetak 189 lulusan, 43 di antaranya meneruskan ke Leiden dan lulus sebagai meester dan lima orang diantaranya bahkan berhasil melanjutkan studi dengan menulis disertasi dan meraih gelar doctor.
Sistem pendidikan tinggi di Negeri Belanda pada masa itu memberikan gelar meester (untuk bidang hukum: meester in de rechtern; Mr) untuk kepentingan praktik, sedangkan pendidikan yang tertuju ke gelar doctor adalah pendidikan dengan tujuan pendalaman keilmuan.
Para oengajar dari RH dan RHS adalah orang-orang Belanda atau mereka yang mendapat pendidikan hukum di Negeri Belanda. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika akar ilmu hukum yang diajarkan adalah ilmu hukum Belanda atau ilmu hukum yang dikembangkan di Belanda. Walaupun RHS ini kemudian berhenti setelah berjalan sekitar 16 tahun, pengaruh ini terus dilanjutkan oleh perguraan tinggi pascakemerdekaan. Hal ini dapat dimenegerti karena pengajar perguruan tinggi pada awal era kemerdekaan itupun hamper seluruh berasal dari lulusan RHS, ditambah dengan lulusan Negeri Belanda. Pada saat itu diperkirakan jumlah sarjana hukum di Indonesia baru sekitar 500-600 orang.
Demikianlah kondisi ini memberikan sisa-sisa yang kuat bagi pengkajian ilmu hukum Indonesia hingga saat ini. Apa yang digambarkan oleh Peter J. Buns sebagai “the Leiden legacy” masih dirasakan di ruang-ruang kuliah fakultas hukum di Indonesia.
Pergantian sistem hukum dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan juga lebih banyak bernuansa politis daripada akademis. Ilmu hukum yang pada dasarnya lebih banyak berbicara tentang hukum positif Indonesia masih didominasi oleh fondasi hukum-hukum pokok seperti perdata dan pidana. Keduanya kebetulan masih beroegangan erat pada kodifikasi produk jaman colonial Belanda. Hanya bidang-bidang parsial saja yang terus berkembang secara tambal sulam, seiring dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang baru.
Satu-satunya lapangan hukum yang terlihat cukup signifikan adalah dibidang hukum tata negara. Ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) memberi landasan yang kuat bagi lahirnya sistem hukum yanh khas Indonesia, sehingga pada gilirannya juga diharapkan lahir ilmu hukum nasional Indonesia itu. B. Arief Sidharta menunjuk sedikitnya tiga ciri khas ilmu hukum nasional Indonesia yang masih perlu dibangun itu:
Teori hukum berupaya untuk mengolah semua hasil penelitian berbagai disiplin ilmiah yang objek nya hukum, menjadi suatu keseluruhan yang koheren agar dapat, disatu pihak menarik pembentukan konsep-konsep yuridis (yang baru) sehingga dapat digunakan dalam pengemban ilmu hukum pada waktu menanggulangi masalah-malasah hukum lama; dan di lain pihak untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat bagi filsafat hukum.menurut B. Arief Shidarta, teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritis dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri dan dalam kaitan dengan keseluruhannya baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengolahan praktisnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridis terberi.
Dilembaga pendidikan tinggi hukum di Indonesia, istilah “teori hukum” tidak banyak dipakai sebagai mata kuliah yang mandiri, kecuali di tingkatan program megister ilmu hukum (sebagai mata kuliah wajib). Pendidikan megister sendiri dapat dikatakan sebagai jenjang pendidikan baru dengan dasar pemikiran yang kurang lebih sejalan dengan kebutuhan akan teori hukum. Ditingkat sarjana (strata satu), selalu terdapat mata kuliah yang diberi nama “Pengantar Ilmu Hukum” yang jika ditelaah isinya merupakan ajaran hukum umum. Antara teori hukum dan ajaran hukum umum ini banyak terdapat persamaannya karena materinya dimaksudkan untuk mengantarkan penstudi hukum memasuki objek telaah hukum positif Indonesia.
Indikasi dari kesimpulan di atas dapat dilihat dari sedikitnya karya-karya yang ditulis secara komperhensif dan interdisipliner untuk digunakan sebagai materi studi “pengantar ilmu hukum” itu. Kelemahan terbesar adalah karena sedikitnya penelitian-penelitian empiris hukum (sumbangan dari disiplin nonhukum) yang dapat digunakan oleh teoritisi hukum di dalam karya-karya mereka.
Tradisi penulisan karya-karya berkriteria kajian teori hukum sangat dipengaruhi oleh corak keluarga sistem civil law, yang sebenarnya sudah mulai ditinggalkan di negara-negara Eropa Kontinental. Secara tradisonal, kajian-kajian teori hukum lebih diarahkan kepada produk hukum berbentuk peraturan perundang-undangan daripada putusan-putusan pengadilan.
Filsafat hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum dan setelah lahirnya teori hukum sebagai disiplin mandiri, juga landasan kefilsafatan bagi teori hukum sebagai pemberi dasar, filsafat hukum menjadi rujukan ajaran nilai dan ajara ilmu bagi teori hukum dan ilmu hukum. kajian-kajian filsafat hukum ini terutama tercermin dalam penelitian di tingkat doktoral, yang pada hakikatnya memang didesain untuk memberi derajat pendidikan sebagai doctor of philosophy (Ph.D).
Kajian filsafat hukum yang terkait dengan Pancasila adalah termasuk topik yang tidak banyak diminati. Kajian terhadap Pancasila sebagaimana kemudian dituangkap dalam materi perkuliahan di perguraan tingg lebih diarahkan sebagai bentuk indoktrinasi ideologis daripada dalam rnagka pengembanan hukum teoritis. Pendidikan Pancasila bahkan diberikan mulai dari tingkat pendidikan dasar. Semula, dari tahun 1968 materi ini diberikan di bawah mata ajaran Pendidikan, Kewarganegaraan, selanjutnya menjadi Pendidikan Moral Pancasila (1975), dan kemudian menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994). Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pnacasila (Ekaprasetya Pancakarsa), lalu dilakukan penataran-penataran Pancasila di berbagai jenjang pendidikan dan lapisan masyarakat.
Menurut hasil studi tentang perkembangan hukum Indonesia yang didanai Bank Dunia (1996), terdapat lebih dari 100 lembaga pendidikan tinggi hukum di seluruh Indonesia yang mampu meluluskan sekitar 13.000 sarjana hukum setiap tahunnya. Dari mereka inilah kemudian tumbuh generasi-generasi baru para pengemban hukum praktis dan teoritis di Indonesia. Mereka menjadi tenaga-tenaga professional dibidang hukum, seperti praktisi atau sebagai tenaga pengajar dan peneliti.
Untuk melihat kondisi pengemban hukum teoritis di Indonesia, salah satu cara yang mudah adalah dengan menyoroti kondisi pengkajian disiplin hukum, yakni dari sudut penelaahan ilmu hukum, teori hukum, dan filsafat hukum. Hubungan antara ketiga cabang disiplin hukum ini tekah disinggung dalam paparan Bab I dan III dengan mengambil bahan-bahan hasil penelitian B. Arief Shidarta.
- Kajian Ilmu Hukum
Menurut catatan Soetandyo, daftar lulusan RH pada tahun 1928 menunjukkan bahwa antara tahun 1912 (tahun pertama kali ujian akhir diselenggarakan) dan tahun 1928 (saat RH ditutup) lembaga ini telah berhasil mencetak 189 lulusan, 43 di antaranya meneruskan ke Leiden dan lulus sebagai meester dan lima orang diantaranya bahkan berhasil melanjutkan studi dengan menulis disertasi dan meraih gelar doctor.
Sistem pendidikan tinggi di Negeri Belanda pada masa itu memberikan gelar meester (untuk bidang hukum: meester in de rechtern; Mr) untuk kepentingan praktik, sedangkan pendidikan yang tertuju ke gelar doctor adalah pendidikan dengan tujuan pendalaman keilmuan.
Para oengajar dari RH dan RHS adalah orang-orang Belanda atau mereka yang mendapat pendidikan hukum di Negeri Belanda. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika akar ilmu hukum yang diajarkan adalah ilmu hukum Belanda atau ilmu hukum yang dikembangkan di Belanda. Walaupun RHS ini kemudian berhenti setelah berjalan sekitar 16 tahun, pengaruh ini terus dilanjutkan oleh perguraan tinggi pascakemerdekaan. Hal ini dapat dimenegerti karena pengajar perguruan tinggi pada awal era kemerdekaan itupun hamper seluruh berasal dari lulusan RHS, ditambah dengan lulusan Negeri Belanda. Pada saat itu diperkirakan jumlah sarjana hukum di Indonesia baru sekitar 500-600 orang.
Demikianlah kondisi ini memberikan sisa-sisa yang kuat bagi pengkajian ilmu hukum Indonesia hingga saat ini. Apa yang digambarkan oleh Peter J. Buns sebagai “the Leiden legacy” masih dirasakan di ruang-ruang kuliah fakultas hukum di Indonesia.
Pergantian sistem hukum dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan juga lebih banyak bernuansa politis daripada akademis. Ilmu hukum yang pada dasarnya lebih banyak berbicara tentang hukum positif Indonesia masih didominasi oleh fondasi hukum-hukum pokok seperti perdata dan pidana. Keduanya kebetulan masih beroegangan erat pada kodifikasi produk jaman colonial Belanda. Hanya bidang-bidang parsial saja yang terus berkembang secara tambal sulam, seiring dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang baru.
Satu-satunya lapangan hukum yang terlihat cukup signifikan adalah dibidang hukum tata negara. Ditetapkannya Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) memberi landasan yang kuat bagi lahirnya sistem hukum yanh khas Indonesia, sehingga pada gilirannya juga diharapkan lahir ilmu hukum nasional Indonesia itu. B. Arief Sidharta menunjuk sedikitnya tiga ciri khas ilmu hukum nasional Indonesia yang masih perlu dibangun itu:
- Paradigma Ilmu Hukum Nasional Indonesia mengacu Cita-hukum Pancasila, Tujuan Hukum Pengayoman, Konsepsi Negara Hukum Pancasila, Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara.
- Objek pengolaham sistematisnya adalah Tatanan Hukum Nasional Indoensia, tertulis maaupun tidak tertulis.
- Kegunaan studi dan pengembangan (pembinaan) Ilmu Hukum Nasional Indonesi dewasa ini adalah untuk peningkatan mutu penyelenggaraan hukum sehari-hari pelaksanaan pembangunan Tata Hukum Nasional Indonesia dengan mengolah masukan dari berbagai ilmu lain dalam mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan social, serta mengantisipasi dan mengakomodasi dampak perkembangan di masa depan
- Kajian Teori Hukum
Teori hukum berupaya untuk mengolah semua hasil penelitian berbagai disiplin ilmiah yang objek nya hukum, menjadi suatu keseluruhan yang koheren agar dapat, disatu pihak menarik pembentukan konsep-konsep yuridis (yang baru) sehingga dapat digunakan dalam pengemban ilmu hukum pada waktu menanggulangi masalah-malasah hukum lama; dan di lain pihak untuk merumuskan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat bagi filsafat hukum.menurut B. Arief Shidarta, teori hukum adalah disiplin hukum yang secara kritis dalam perspektif interdisipliner menganalisis berbagai aspek dari gejala hukum secara tersendiri dan dalam kaitan dengan keseluruhannya baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengolahan praktisnya, dengan tujuan memperoleh pemahaman yang lebih baik dan penjelasan yang lebih jernih atas bahan-bahan yuridis terberi.
Dilembaga pendidikan tinggi hukum di Indonesia, istilah “teori hukum” tidak banyak dipakai sebagai mata kuliah yang mandiri, kecuali di tingkatan program megister ilmu hukum (sebagai mata kuliah wajib). Pendidikan megister sendiri dapat dikatakan sebagai jenjang pendidikan baru dengan dasar pemikiran yang kurang lebih sejalan dengan kebutuhan akan teori hukum. Ditingkat sarjana (strata satu), selalu terdapat mata kuliah yang diberi nama “Pengantar Ilmu Hukum” yang jika ditelaah isinya merupakan ajaran hukum umum. Antara teori hukum dan ajaran hukum umum ini banyak terdapat persamaannya karena materinya dimaksudkan untuk mengantarkan penstudi hukum memasuki objek telaah hukum positif Indonesia.
Indikasi dari kesimpulan di atas dapat dilihat dari sedikitnya karya-karya yang ditulis secara komperhensif dan interdisipliner untuk digunakan sebagai materi studi “pengantar ilmu hukum” itu. Kelemahan terbesar adalah karena sedikitnya penelitian-penelitian empiris hukum (sumbangan dari disiplin nonhukum) yang dapat digunakan oleh teoritisi hukum di dalam karya-karya mereka.
Tradisi penulisan karya-karya berkriteria kajian teori hukum sangat dipengaruhi oleh corak keluarga sistem civil law, yang sebenarnya sudah mulai ditinggalkan di negara-negara Eropa Kontinental. Secara tradisonal, kajian-kajian teori hukum lebih diarahkan kepada produk hukum berbentuk peraturan perundang-undangan daripada putusan-putusan pengadilan.
- Kajian Filsafat Hukum
Filsafat hukum memberi landasan kefilsafatan bagi ilmu hukum dan setelah lahirnya teori hukum sebagai disiplin mandiri, juga landasan kefilsafatan bagi teori hukum sebagai pemberi dasar, filsafat hukum menjadi rujukan ajaran nilai dan ajara ilmu bagi teori hukum dan ilmu hukum. kajian-kajian filsafat hukum ini terutama tercermin dalam penelitian di tingkat doktoral, yang pada hakikatnya memang didesain untuk memberi derajat pendidikan sebagai doctor of philosophy (Ph.D).
Kajian filsafat hukum yang terkait dengan Pancasila adalah termasuk topik yang tidak banyak diminati. Kajian terhadap Pancasila sebagaimana kemudian dituangkap dalam materi perkuliahan di perguraan tingg lebih diarahkan sebagai bentuk indoktrinasi ideologis daripada dalam rnagka pengembanan hukum teoritis. Pendidikan Pancasila bahkan diberikan mulai dari tingkat pendidikan dasar. Semula, dari tahun 1968 materi ini diberikan di bawah mata ajaran Pendidikan, Kewarganegaraan, selanjutnya menjadi Pendidikan Moral Pancasila (1975), dan kemudian menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994). Sebagai tindak lanjut dari Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pnacasila (Ekaprasetya Pancakarsa), lalu dilakukan penataran-penataran Pancasila di berbagai jenjang pendidikan dan lapisan masyarakat.
Comments
Post a Comment