Konflik Norma dan Hukum


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Telah diketahui bahwa disamping norma/kaedah kepercayaan atau keagamaan, norma kesusilaan dan norma sopan santun masih diperlukan norma hokum. norma hokum ini melindungi lebih lanjut kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaedah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tadi.
Norma hokum ditujukan terutama kepada pelakunya yang konkrit yaitu dipelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat, bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakatagar masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, agar terjadi kejahatan.
Isi kaedah hokum itu ditujukan kepada sikap lahir manusia. Kaedah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya apa yang dibatin, apa yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal, asal lahirnya ia tidak melanggar hukum. Apakah seseorang dalam mematuhi peraturan lalu lintas (misalnya : berhenti ketika lampu lalu lintas menyalah merah) sambil menggerutu ia tergesa-gesa ia mau pergi kuliah, tidaklah penting bagi hukum, yang penting ialah bahwa lahirnya apa yang tampak dari luar ia patuh pada peraturan lalu lintas.
Kaidah hukum berasal dari luar manusia. Kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita (heteronom), masyarakatlah secara resmi diberi kuasa untuk memberi sanksi / menjatuhkan hukuman

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Norma, Norma Hukum, dan Hukum?
2.      Apakah perbedaan antara Norma Hukum dan Hukum?
3.      Apakah contoh konflik Norma dan Hukum?
4.      Bagaimanakah penyelesaian konflik norma dan hukum?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Penjelasan Norma dan Hukum
Ditinjau dari segi etimologi, kata “norma” berasal dari bahasa Latin sedangkan kata “kaidah” berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab berasal dari kata qo’idah yang berarti ukuran atau nilai pengukur.[1]
Beberapa ahli hukum menggunakan kedua kata tersebut secara bersamaan (kata norma dan kaidah dianggap sinonim). Menurut Purnadi Purbacarakan dan Soerjono Soekanto, norma atau kaidah adalah ukuran ataupun pedoman untuk perilaku atai bertindak dalam hidupnya.[2] Menurut Maria Farida, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya.[3] Menurut Kelsen, yang dimaksud dengan norma adalah “…… that something ought to be or ought to happen, especially that a human being ought to behave in a specific way” (sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi, khususnya bahwa manusia seharusnya berperilaku dengan cara tertentu).[4]
Norma atau kaidah pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu norma etika dan norma hukum. Norma etika meliputi norma susila, norma agama, dan norma kesopanan. Ketiga norma atau kaidah tersebut dibandingkan satu sama lain dapat dikatakan bahwa norma agama dalam arti vertikan dan sempit bertujuan untuk kesucian hiudp pribadi, norma kesusilaan bertujuan agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi, sedangkan norma kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan hidup bersama antar pribadi. Dilihat dari segi tujuannya maka norma hukum bertujuan kepada cita kedaiman hidup antar pribadi, keadaan damai terkait dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan anatara ketertiban dan ketentraman. Tujuan kedamaian hidup bersama dimaksud dikaitkan pula dalam perwujudan kepastian, keadilan dan kebergunaan.[5] Dari segi isi norma hukum dapat dibagi menjadi tiga, pertama, norma hukum yang berisi perintah yang mau tidak mau harus dijalankan atau ditaati. Kedua, norma hukum yang berisi larangan, dan ketiga, norma hukum berisi perkenaan yang hanya mengikat sepanjang para pihak yang bersangkutan tidak menentukan lain dalam perjanjian.[6]
Hukum secara etimologi berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal, kata jamaknya adalah “Alkas yang selanjutnya diambil dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Sedangkan menutur bahasa Latin Rechtum, Ius, lex berasal dari kata lesere, yang mempunyai arti bimbingan, tuntunan, bimbingann, mengumpulkan (mengumpulkan orang untuk diberi perintah.[7]
Sedangkan secara terminologi hukum sebagaimana diungkapkan oleh para ahli, yaitu:
a.       Sutjipto Raharjo, hukum merupakan karya manusia berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku.
b.      Sodjono Dirjosisworo, hukum merupakan gejalla sosial, ia baru berkembang di dalam kehidupan manusia bersama. Ia tampil dalam menyerasikan pertemuan antara kebutuhan dan kepentingan warga maysarakat, baik yang sesuai mapun yang bertentangan.
c.       Abdul Manan, hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai tingkah laku atau perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup masyarakat.[8]
Dari definisi diatas pemakalah menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang berasal dari masyarakat yang dibuat oleh pihak berwenang dan disahkan oleh Pemerintah dengan maksud untuk mengatur kehidupan masyarakat yang tertib, aman, serta untuk memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat.
B.     Eror in Opinion Antara Norma Hukum dengan Hukum Positif
Jika kita telaah lebih jauh sejatinya kekeliruan mengenai letak ilmu hukum ini dimulai ketika orang-orang belum bisa membedakan antara normatif dan positivis. Positifis merupakan pandangan yang di inisiasi oleh John Austin. Dalam pandangan Austin, ilmu hukum tidak lain hanya hukum positif. Hukum positif menurut Austin adalah aturan umum yang dibuat oleh mereka yang mempunyai kedudukan politis lebih tinggi untuk mereka yang mempunyai kedudukan politis lebih rendah. Dengan demikian menurut Austin hukum positif adalah perintah penguasa. Dari pendefinisian demikian bisa dilihat bahwa Austin bermaksud memisahkan hukum dengan moral, kebiasaan, dan unsur-unsur lain yang tidak dapat ditentukan.
Selain John Austin, terdapat tokoh lain yang berusaha membebaskan hukum dari kabut metafisika yang telah menutupinya dengan melakukan spekulasi tentang keadilan melalui doktrin ius naturae atau dikenal sebagai hukum alam. Tokoh tersebut adalah Hans Kelsen yang merupakan pelopor aliran hukum positif yang murni yang terkenal dengan kata-katanya yaitu the fundamental form of the law of nature is the law of causality (Bentuk dasar dari hukum alam adalah hukum kausalitas ). Bagi Kelsen yang terpenting adalah apakah perbuatan seseorang berdasarkan atau tidak berdasarkan hukum positif. Sehingga adil atau tidak adilnya suatu perbuatan tertentu semata-mata dilihat dari sudut hukum itu sendiri, bukan berdasarkan pada pertimbangan etis, sosiologis maupun politis, tetapi menurut pertimbangan hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsen yang menyatakan: “the statement that the behavior of an individual is “just” or “unjust” in the sense of “legal” or “illegal” means that the behavior corresponds or does not correspond to a legal norm which is presupposed as valid by the judging subject because this norm belongs to a positive legal order.” Karena hal inilah ajaran dari Hans Kelsen disebut sebagai Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre). Dapat disimpulkan Hans Kelsen melihat bahwa hukum tetaplah hukum meski tidaklah adil. Oleh karena itu, apabila pandangan Kelsen ini diikuti, maka ilmu hukum hanya studi formal tentang hukum semata.
Dapat disimpulkan Baik Austin maupun Kelsen menyamakan hukum dengan aturan yang dibuat oleh penguasa. Hal ini dilandasai karena hukum merupakan normal sosial dan berarti norma hukum hanyalah aturan yang dapat dibuat oleh penguasa. Adapun aturan yang dibuat penguasa merupakan wujud dari hukum positif. Kemudian lahirlah asumsi bahwa norma yang dipahami secara umum sebagai ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya merupakan hukum positif meningat hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh penguasa. Sehingga mereka melihat norma sama dengan hukum positif dan membuat anggapan bahwa normatif dan positif dianggap sama. Hal inilah yang melatarbelakangi penggunaan nomenklatur norma (norma hukum) dan hukum (hukum positif) seolah sama dan tidak ada perbedaan. Contohnya ada yang menggunakan konflik norma, namun dianggap yang bertentangan adalah hukumnya,vice versa.
Oleh karena itu perlu dikemukakan perbedaan antara norma hukum dan aturan hukum (hukum positif). Alf Ross, salah seorang Scandinavian Realist, mengemukakan bahwa a norm has two aspects (a) directive to do or not to do something; and (b) the correspondence of the directive to some social facts. Dalam hal ini, norma berisi perintah kepada setiap orang untuk bertingkah laku sebagaimana yang diinginkan oleh norma tersebut. Adapun untuk yang kedua, ia memberi contoh dilarang mencuri milik orang lain. Pada dasar sebenarnya seseorang tidak ingin mencuri barang milik orang lain. Oleh karena itu dalam norma ini terdapat perintah untuk memegang kewajiban itu atau alrangan untuk melanggar sesuatu yang secara mendasar tidak boleh dan tidak ingin dilakukan oleh setiap orang.
Jika dikaji secara etimologis, kata norma yang dipakai oleh Alf Ross dan juga Hans Kelsen memiliki kemiripan yaitu sama-sama berasal dari bahasa Latin yang artinya dalam bahasa Inggris adalah standart of behavior atau perdoman perilaku yang oleh K. Prent et al. dalam Kamus Latin-Indonesia diterjemahkan sebagai kaidah. Hanya bedanya Alf Ross sebagai seorang realis memandang norma bukan hanya dari yang tertulis belaka. Sebaliknya Hans Kelsen sebagai seorang positivis (meningat dia sebagai penemu ajaran hukum murni ), memandang norma hanya sebagai apa yang tertulis sehingga terdapat hirarki norma. Dengan demikian, Kelsen mempersamakan antara norma dengan aturan.
Pandangan Kelsen yang mempersamakan antara norma dengan aturan ini kemudian mulai diikuti oleh banyak yuris yang terlihat dari banyaknya istilah “penormaan”, “norma kabur”, “konflik norma”. Padahal jika kita telaah penggunan istilah tersebut tidaklah tepat dan tidak sesuai dengan makna kata norma tersebut. Norma yang dalam kamus Latin-Indonesia diterjemahkan kaidah, atau dalam Latin & English Dictionary diterjemahkan sebagai standart of behavior tidak harus dibuat oleh penguasa, sehingga tidak ada istilah “penormaan” tersebut. Selain itu jika melihat sifat norma hukum dalam peraturan perundang undangan yang terdiri dari perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan (vrijstelling) yang berarti tidak mungkin kabur dan berkonflik. Contoh-contoh norma : hargai kehormatan orang lain, jangan membunuh dan lain-lain.
Mengacu pada pendapay Geoffrey Samuel yang mengemukakan bahwa “ The legal norm is not in fact something of which one can have an immediate and direct perception …, norma harus dijabarkan ke dalam aturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Jadi dari norma-norma itu haruslah dituangankan ke dalam aturan hukum agar memiliki kekuatan hukum mengikat. Contoh norma “ hargai kehormatan orang lain” dituangkan ke dalam pasal 310 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik, pasal 362 KUHP tentang pencurian. Oleh karena itu tidak ada istilah “penormaan”, “norma kabur”, “konflik norma” . Istilah yang benar adalah “penuangan ke dalam aturan”, “aturan yang kabur”, dan “konflik aturan”.[9]
C.    Contoh Konflik Norma dan Hukum
1)      Antara Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.15 Thn 2013 dan UU No. 8 Thn 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 32 ayat (1) huruf k Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013 menjelaskan pelaksana, peserta, dan petugas kampanye dilarang memobilisasi Warga Negara Indonesia yang belum memenuhi syarats sebagai Pemilih. Namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD sendiri, tidak secara tegas melarang mobilisasi Warga Negara Indonesia yang belum memenuhi syarat sebagai Pemilih atau eksploitasi anak dalam kegiatan politik termasuk kampanye. Sehingga peraturan KPU tersebut menyalahi hirarki peraturan perundang-undangan yaitu dalam pemberlakuaannya bertentangan dengan undang-undang tentang Pemilu Anggota Legislatif sebagai peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu juga tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.[10]
2)      Kedudukan Fatwa dalam Hierarki Sistem Hukum di Indonesia
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) menjelaskan bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.    Peraturan Pemerintah;
e.    Peraturan Presiden;
f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang disebutkan di atas, mencakup peraturan yang ditetapkan oleh.
a.      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
b.      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c.      Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d.      Mahkamah Agung (MA);
e.      Mahkamah Konstitusi (MK);
f.       Badan Pemeriksa Keuangan(BPK);
g.      Komisi Yudisial (KY);
h.      Bank Indonesia (BI);
i.        Menteri;
j.       badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang;
k.      Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;
l.        Gubernur;
m.    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
n.      Bupati/Walikota;
o.      Kepala Desa atau yang setingkat.
Jika merujuk pada jenis dan hierarki sebagaimana tersebut dalam UU 12/2011 di atas, maka kedudukan Fatwa MUI  bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Meskipun Fatwa MUI bukan merupakan salah satu suatu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui di Indonesia menurut Yeni Salma Barlinti dalam kesimpulan disertasinya yang berjudul “Kedudukan Fatwa DSN dalam Sistem Hukum Nasional”, yang telah dipertahankan dalam ujian program doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) sebagaimana yang kami kutip dari artikel Fatwa DSN Merupakan Hukum Positif Mengikat, dijelaskan bahwa dalam perkembangannya, beberapa fatwa yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) merupakan hukum positif yang mengikat. Sebab, keberadaannya sering dilegitimasi lewat peraturan perundang-undangan oleh lembaga pemerintah, sehingga harus dipatuhi pelaku ekonomi syariah
D.    Penyelesaian Konflik Norma
Dalam proses penerapan hukum secara secara teknis operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Penanganan suatu perkara atau sengketa di pengadilan selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini, hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali dengan identifikasi aturan hukum.
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas. Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1.       Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu hukum yang lebih tinggi derajatnya mengesampingkan hukum atau yang derajatnya dibawahnya.
2.      Lex specialis derogat legi generali, yaitu undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum.
3.      Lex posteriori derogat legi priori, yaitu undangundang yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang baru yang mengatur hal yang sama.[11]
Rechtvinding berkaitan dengan norma yang terdapat dalam satu ketentuan undang-undang. Rechtvinding di butuhkan karena konsepnorma yang terbuka (open texture) dan norma yang kabur atau lebih undang-undang, yang secara bersama-sama diterapkan pada kasus tersebut. Persoalan muncul kalau terdapat pertentangan antara norma hokum dari undang-undang tersebut. Maka perlu ditetapka nnorma yang mana harus diterapkan. Langkah yang ditempuh adalah penyelesaian konflik norma.
Ada tipepenyelesaianberkaitandenganasasPrefensiHukum (yang meliputi asas Lex superior, asas Lexspesialis, asas Lex Posterior) yaitu: [12]
1.      Pengikaran (Disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali konfllik itu terjadi berkenaan dengan asas Lex specialis dalam konflik pragmatis atau dalam konflik logika di interpretasi sebagai pragmatis. Suatu contoh yang lazim yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat dan hukum publik, dengan beragumentasi bahwa dua bidang hukum tersebut diterapkan secara terpisah, meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan tersebut terdapat konflik norma.
2.      Reinterpretasi
Dalam kaitan penerapan 3 asas prefensi hokum harus dibedakan yang pertama adalah reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas prefensi, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua dengan menginterpretasi norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain.
3.      Pembatalan(invalidation)
Ada 2 macam yaitu: 1. Abstrak formal, 2. Praktikal. Pembatalan abstrak dan formal dilaksanakan misalnaya oleh suatulembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan Peraturan Pemerintah kebawah dilaksanakan olehMahkamah Agung Pembatalan praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut didalam kasus konkrit.
Note: Di Indonesia, dalam praktek peradilan dikenal dengan menyampingkan. Contoh dalam kasus Tempo hakim menyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena bertentangan dengan Undang-undang Pers.
4.      Pemulihan (remedy)
Mempertibangkangkan pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misal: dalam hal satu norma yang unggul dalam arti Overruled norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, maka dengan cara memberikan kompensasi.
























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
·         Menurut Purnadi Purbacarakan dan Soerjono Soekanto, norma atau kaidah adalah ukuran ataupun pedoman untuk perilaku atai bertindak dalam hidupnya. Menurut Maria Farida, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya.
·         Norma atau kaidah pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu norma etika dan norma hukum.
·         hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang berasal dari masyarakat yang dibuat oleh pihak berwenang dan disahkan oleh Pemerintah dengan maksud untuk mengatur kehidupan masyarakat yang tertib, aman, serta untuk memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat.
·         Terdapat perbedaan antara Norma Hukum dan Hukum.
·         Terdapat beberapa penyelesaian konflik antar norma, yaitu pengingkaran,reinterpretasi, dan pembatalan








DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie,  Jimmly. 2011. Perihal Undang-Undang. (Jakarta: Rajawali Pers)
Purbacaraka Purnadi dan Soekanto Soejono. 1982. Perihal Kaidah Hukum.(Bandung:  Alumni)
M. Hadjon Philipus dan Sri Djatmiati Tatiek. 2017. Argumentasi Hukum. (Yogyakarta: Gajah Mada University Pers)
Muhamamad Sadi. 2017. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Kencana, 2017)
Ni’matul Huda dan R Nazriyah. 2011. Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. (Bandung: Nusa Media)
Suriyani, Meta, Pertentangan Asas Perundang-undangan dalam Pengaturan Larangan Mobilisasi Anak pada Kampanye Pemilu,  Jurnal  Konstitusi  Volume  13  Nomor  3  September  2016


[1] Jimmly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 1.
[2] Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1982, Perihal Kaidah Hukum,(Bandung:  Alumni), hlm .14.
[3] Maria Farida Indrati S., 1998, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 14.
[4] Ni’matul Huda dan R Nazriyah, 2011, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung: Nusa Media) hlm. 15.
[5] Jimmly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 1.
[6] Jimmly Asshiddiqie, 2011, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm. 1.
[7] Muhamamad Sadi, 2017, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 49.
[8] Muhamamad Sadi, 2017, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 52.

               [9] Tulisan ini merupakan hasil Kajian Divisi Kajian & Pengembangan Hukum BSO KOMAHI FH UNAIR, yang ditulis oleh Xavier Nugraha, Ketua Divisi Kajian & Pengembangan Hukum BSO KOMAHI FH UNAIR, dikutip dari:  https://komahifhunaircom.files.wordpress.com/2018/03/konflik-hukum-atau-konflik-norma.pd. Di akses Pada 17Mei 2019, pukul 15.00


[11] Muhamamad Sadi, 2017, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 160.
[12] Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2017, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pers), hlm. 31-32.

Comments

Popular posts from this blog

Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum

Teori dan Prinsip HAM

Pengemban Hukum Praktis