Konflik Norma dan Hukum
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Telah diketahui bahwa disamping
norma/kaedah kepercayaan atau keagamaan, norma kesusilaan dan norma sopan
santun masih diperlukan norma hokum. norma hokum ini melindungi lebih lanjut
kepentingan-kepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga
kaedah lainnya dan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum
mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tadi.
Norma hokum ditujukan terutama kepada
pelakunya yang konkrit yaitu dipelaku pelanggaran yang nyata-nyata berbuat,
bukan untuk penyempurnaan manusia, melainkan untuk ketertiban masyarakatagar
masyarakat tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan, agar terjadi
kejahatan.
Isi kaedah hokum itu ditujukan kepada sikap
lahir manusia. Kaedah hukum mengutamakan perbuatan lahir. Pada hakekatnya apa
yang dibatin, apa yang dipikirkan manusia tidak menjadi soal, asal lahirnya ia
tidak melanggar hukum. Apakah seseorang dalam mematuhi peraturan lalu lintas
(misalnya : berhenti ketika lampu lalu lintas menyalah merah) sambil menggerutu
ia tergesa-gesa ia mau pergi kuliah, tidaklah penting bagi hukum, yang penting
ialah bahwa lahirnya apa yang tampak dari luar ia patuh pada peraturan lalu
lintas.
Kaidah hukum berasal dari luar manusia.
Kaidah hukum berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada
kita (heteronom), masyarakatlah secara resmi diberi kuasa untuk memberi sanksi
/ menjatuhkan hukuman
B. Rumusan
Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Norma, Norma
Hukum, dan Hukum?
2. Apakah perbedaan antara Norma Hukum dan
Hukum?
3. Apakah contoh konflik Norma dan Hukum?
4. Bagaimanakah penyelesaian konflik norma dan
hukum?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Penjelasan Norma dan
Hukum
Ditinjau dari segi etimologi, kata “norma” berasal dari bahasa
Latin sedangkan kata “kaidah” berasal dari bahasa Arab. Norma berasal dari kata
nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum.
Sedangkan kaidah dalam bahasa Arab berasal dari kata qo’idah yang berarti
ukuran atau nilai pengukur.[1]
Beberapa ahli hukum menggunakan kedua kata tersebut secara
bersamaan (kata norma dan kaidah dianggap sinonim). Menurut Purnadi
Purbacarakan dan Soerjono Soekanto, norma atau kaidah adalah ukuran ataupun
pedoman untuk perilaku atai bertindak dalam hidupnya.[2]
Menurut Maria Farida, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang
dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya.[3] Menurut
Kelsen, yang dimaksud dengan norma adalah “…… that something ought to be or
ought to happen, especially that a human being ought to behave in a specific
way” (sesuatu yang seharusnya ada atau seharusnya terjadi, khususnya bahwa
manusia seharusnya berperilaku dengan cara tertentu).[4]
Norma atau kaidah pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu norma etika
dan norma hukum. Norma etika meliputi norma susila, norma agama, dan norma
kesopanan. Ketiga norma atau kaidah tersebut dibandingkan satu sama lain dapat
dikatakan bahwa norma agama dalam arti vertikan dan sempit bertujuan untuk
kesucian hiudp pribadi, norma kesusilaan bertujuan agar terbentuk kebaikan
akhlak pribadi, sedangkan norma kesopanan bertujuan untuk mencapai kesedapan
hidup bersama antar pribadi. Dilihat dari segi tujuannya maka norma hukum
bertujuan kepada cita kedaiman hidup antar pribadi, keadaan damai terkait
dimensi lahiriah dan batiniah yang menghasilkan keseimbangan anatara ketertiban
dan ketentraman. Tujuan kedamaian hidup bersama dimaksud dikaitkan pula dalam
perwujudan kepastian, keadilan dan kebergunaan.[5]
Dari segi isi norma hukum dapat dibagi menjadi tiga, pertama, norma hukum yang
berisi perintah yang mau tidak mau harus dijalankan atau ditaati. Kedua, norma
hukum yang berisi larangan, dan ketiga, norma hukum berisi perkenaan yang hanya
mengikat sepanjang para pihak yang bersangkutan tidak menentukan lain dalam
perjanjian.[6]
Hukum secara etimologi berasal dari
bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal, kata jamaknya adalah “Alkas yang
selanjutnya diambil dalam bahasa Indonesia menjadi “Hukum”. Sedangkan menutur
bahasa Latin Rechtum, Ius, lex berasal dari kata lesere, yang
mempunyai arti bimbingan, tuntunan, bimbingann, mengumpulkan (mengumpulkan
orang untuk diberi perintah.[7]
Sedangkan secara terminologi hukum
sebagaimana diungkapkan oleh para ahli, yaitu:
a.
Sutjipto Raharjo, hukum merupakan karya manusia berupa norma-norma
berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku.
b.
Sodjono Dirjosisworo, hukum merupakan gejalla sosial, ia baru
berkembang di dalam kehidupan manusia bersama. Ia tampil dalam menyerasikan
pertemuan antara kebutuhan dan kepentingan warga maysarakat, baik yang sesuai
mapun yang bertentangan.
c.
Abdul Manan, hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang menguasai
tingkah laku atau perbuatan tertentu dari manusia dalam hidup masyarakat.[8]
Dari definisi diatas pemakalah
menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hukum adalah suatu rangkaian peraturan
yang berasal dari masyarakat yang dibuat oleh pihak berwenang dan disahkan oleh
Pemerintah dengan maksud untuk mengatur kehidupan masyarakat yang tertib, aman,
serta untuk memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat.
B.
Eror in Opinion
Antara Norma
Hukum dengan Hukum Positif
Jika kita telaah lebih jauh sejatinya
kekeliruan mengenai letak ilmu hukum ini dimulai ketika orang-orang belum bisa
membedakan antara normatif dan positivis. Positifis merupakan pandangan yang di
inisiasi oleh John Austin. Dalam pandangan Austin, ilmu hukum tidak lain hanya
hukum positif. Hukum positif menurut Austin adalah aturan umum yang dibuat oleh
mereka yang mempunyai
kedudukan politis lebih tinggi untuk mereka yang mempunyai kedudukan politis
lebih rendah. Dengan demikian menurut Austin hukum positif adalah perintah
penguasa. Dari pendefinisian demikian bisa dilihat bahwa Austin bermaksud
memisahkan hukum dengan moral, kebiasaan, dan unsur-unsur lain yang tidak dapat
ditentukan.
Selain John Austin, terdapat tokoh lain yang
berusaha membebaskan hukum dari kabut metafisika yang telah menutupinya dengan
melakukan spekulasi tentang keadilan melalui doktrin ius naturae atau dikenal sebagai hukum alam. Tokoh tersebut adalah
Hans Kelsen yang merupakan pelopor
aliran hukum positif yang murni yang terkenal dengan kata-katanya yaitu the fundamental
form of the law of nature is the law of causality (Bentuk dasar dari hukum
alam adalah hukum kausalitas ). Bagi
Kelsen yang terpenting adalah apakah perbuatan seseorang berdasarkan atau tidak
berdasarkan hukum positif. Sehingga adil atau tidak adilnya suatu perbuatan
tertentu semata-mata dilihat dari sudut hukum itu sendiri, bukan berdasarkan
pada pertimbangan etis, sosiologis maupun politis, tetapi menurut pertimbangan
hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsen yang menyatakan: “the statement that the behavior of an
individual is “just” or “unjust” in
the sense of “legal” or “illegal” means that the behavior corresponds or does
not correspond to a legal norm which is presupposed as valid by the judging
subject because this norm belongs to a positive legal order.” Karena hal inilah ajaran dari Hans
Kelsen disebut sebagai Ajaran Hukum
Murni (Reine Rechtslehre). Dapat
disimpulkan Hans Kelsen melihat bahwa hukum tetaplah hukum meski tidaklah adil.
Oleh karena itu, apabila pandangan Kelsen ini diikuti, maka ilmu hukum hanya
studi formal tentang hukum semata.
Dapat disimpulkan Baik Austin maupun Kelsen
menyamakan hukum dengan aturan yang dibuat oleh penguasa. Hal ini dilandasai
karena hukum merupakan normal sosial dan berarti norma hukum hanyalah aturan
yang dapat dibuat oleh penguasa. Adapun aturan yang dibuat penguasa merupakan
wujud dari hukum positif. Kemudian lahirlah asumsi bahwa norma yang dipahami
secara umum sebagai ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya
dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya merupakan hukum positif meningat
hukum positif adalah hukum
yang dibuat oleh penguasa. Sehingga mereka melihat norma sama dengan hukum
positif dan membuat anggapan bahwa normatif dan positif dianggap sama. Hal
inilah yang melatarbelakangi penggunaan nomenklatur norma (norma hukum) dan
hukum (hukum positif) seolah sama dan tidak ada perbedaan. Contohnya ada yang
menggunakan konflik norma, namun dianggap yang bertentangan adalah
hukumnya,vice versa.
Oleh karena itu perlu dikemukakan perbedaan
antara norma hukum dan aturan hukum (hukum positif). Alf Ross, salah seorang Scandinavian Realist, mengemukakan bahwa
a norm has two aspects (a) directive to do or not to do something; and (b) the
correspondence of the directive to some social facts. Dalam hal ini, norma berisi perintah kepada setiap orang untuk bertingkah laku sebagaimana yang
diinginkan oleh norma tersebut. Adapun untuk yang kedua, ia memberi contoh
dilarang mencuri milik orang lain. Pada dasar sebenarnya seseorang tidak ingin
mencuri barang milik orang lain. Oleh karena itu dalam norma ini terdapat
perintah untuk memegang kewajiban itu atau alrangan untuk melanggar sesuatu
yang secara mendasar tidak boleh dan tidak ingin dilakukan oleh setiap orang.
Jika dikaji secara etimologis, kata norma yang dipakai oleh Alf Ross dan
juga Hans Kelsen memiliki kemiripan yaitu sama-sama berasal dari bahasa Latin
yang artinya dalam bahasa Inggris adalah standart
of behavior atau perdoman perilaku yang oleh K. Prent et al. dalam Kamus Latin-Indonesia diterjemahkan sebagai kaidah.
Hanya bedanya Alf Ross sebagai seorang realis memandang norma bukan hanya dari yang tertulis belaka. Sebaliknya Hans Kelsen
sebagai seorang positivis (meningat dia sebagai penemu ajaran hukum murni ),
memandang norma hanya sebagai apa yang tertulis sehingga terdapat hirarki
norma. Dengan demikian, Kelsen mempersamakan antara norma dengan aturan.
Pandangan Kelsen yang mempersamakan antara norma dengan aturan ini kemudian mulai
diikuti oleh banyak yuris yang terlihat dari banyaknya istilah “penormaan”,
“norma kabur”, “konflik norma”. Padahal jika kita telaah penggunan istilah
tersebut tidaklah tepat dan tidak sesuai dengan makna kata norma tersebut. Norma
yang dalam kamus Latin-Indonesia diterjemahkan kaidah, atau dalam Latin & English Dictionary
diterjemahkan sebagai standart of behavior tidak harus dibuat oleh penguasa,
sehingga tidak ada istilah “penormaan” tersebut. Selain itu jika melihat sifat norma hukum dalam peraturan
perundang undangan yang terdiri dari perintah (gebod), larangan (verbod),
pengizinan (toestemming), dan
pembebasan (vrijstelling) yang
berarti tidak mungkin kabur dan berkonflik. Contoh-contoh norma : hargai kehormatan
orang lain, jangan membunuh dan lain-lain.
Mengacu pada pendapay Geoffrey Samuel yang
mengemukakan bahwa “ The legal norm is not in fact something of which one
can have an immediate and direct perception …, norma harus dijabarkan ke
dalam aturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Jadi dari norma-norma
itu haruslah dituangankan ke dalam aturan hukum agar memiliki kekuatan hukum
mengikat. Contoh norma “ hargai kehormatan orang lain” dituangkan ke dalam
pasal 310 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik,
pasal 362 KUHP tentang pencurian. Oleh karena itu tidak ada istilah
“penormaan”, “norma kabur”, “konflik norma” . Istilah yang benar adalah
“penuangan ke dalam aturan”, “aturan yang kabur”, dan “konflik aturan”.[9]
C. Contoh Konflik Norma
dan Hukum
1)
Antara Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.15 Thn 2013 dan UU No. 8
Thn 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.
Pasal 32 ayat (1) huruf k Peraturan Komisi
Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2013 menjelaskan pelaksana, peserta, dan petugas
kampanye dilarang memobilisasi Warga Negara Indonesia yang belum memenuhi
syarats sebagai Pemilih. Namun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD dan DPRD sendiri, tidak secara tegas melarang mobilisasi Warga
Negara Indonesia yang belum memenuhi syarat sebagai Pemilih atau eksploitasi
anak dalam kegiatan politik termasuk kampanye. Sehingga peraturan KPU tersebut
menyalahi hirarki peraturan perundang-undangan yaitu dalam pemberlakuaannya
bertentangan dengan undang-undang tentang Pemilu Anggota Legislatif sebagai
peraturan yang lebih tinggi. Oleh karena itu juga tidak sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.[10]
2)
Kedudukan Fatwa dalam Hierarki Sistem Hukum di Indonesia
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) menjelaskan
bahwa Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.
Peraturan Pemerintah;
e.
Peraturan Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang disebutkan di atas, mencakup
peraturan yang ditetapkan oleh.
a.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
b.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d.
Mahkamah Agung (MA);
e.
Mahkamah Konstitusi (MK);
f.
Badan Pemeriksa Keuangan(BPK);
g.
Komisi Yudisial (KY);
h.
Bank Indonesia (BI);
i.
Menteri;
j.
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah
Undang-Undang;
k.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi;
l.
Gubernur;
m.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota;
n.
Bupati/Walikota;
o.
Kepala Desa atau yang setingkat.
Jika merujuk pada jenis dan hierarki sebagaimana tersebut dalam UU 12/2011
di atas, maka kedudukan Fatwa MUI bukan
merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Meskipun Fatwa MUI bukan merupakan
salah satu suatu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui di Indonesia
menurut Yeni Salma Barlinti dalam kesimpulan disertasinya yang berjudul
“Kedudukan Fatwa DSN dalam Sistem Hukum Nasional”, yang telah dipertahankan
dalam ujian program doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI)
sebagaimana yang kami kutip dari artikel Fatwa DSN Merupakan Hukum Positif
Mengikat, dijelaskan bahwa dalam perkembangannya, beberapa fatwa
yang dikeluarkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
merupakan hukum positif yang mengikat. Sebab, keberadaannya sering dilegitimasi
lewat peraturan perundang-undangan oleh lembaga pemerintah, sehingga harus
dipatuhi pelaku ekonomi syariah
D.
Penyelesaian
Konflik Norma
Dalam proses penerapan hukum secara secara teknis
operasional dapat didekati dengan 2 (dua) cara, yaitu melalui penalaran hukum
induksi dan deduksi. Penanganan suatu perkara atau sengketa di pengadilan
selalu berawal dari langkah induksi berupa merumuskan fakta-fakta, mencari
hubungan sebab akibat, dan mereka-reka probabilitasnya. Melalui langkah ini,
hakim pengadilan pada tingkat pertama dan kedua adalah judex facti. Setelah
langkah induksi diperoleh atau fakta-faktanya telah dirumuskan, maka diikuti
dengan penerapan hukum sebagai langkah deduksi. Langkah penerapan hukum diawali
dengan identifikasi aturan hukum.
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai
keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht),
konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage
normen) atau norma tidak jelas. Dalam menghadapi
konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas
penyelesaian konflik (asas preferensi), yaitu:
1. Lex superiori
derogat legi inferiori, yaitu hukum yang
lebih tinggi derajatnya mengesampingkan hukum atau yang derajatnya dibawahnya.
2. Lex specialis derogat
legi generali, yaitu undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang
yang bersifat umum.
3. Lex posteriori derogat
legi priori, yaitu undangundang
yang lama dinyatakan tidak berlaku apabila ada undang-undang baru yang mengatur
hal yang sama.[11]
Rechtvinding berkaitan dengan norma
yang terdapat dalam satu ketentuan undang-undang. Rechtvinding di butuhkan
karena konsepnorma yang terbuka (open texture) dan norma yang kabur atau lebih
undang-undang, yang secara bersama-sama diterapkan pada kasus tersebut.
Persoalan muncul kalau terdapat pertentangan antara norma hokum dari
undang-undang tersebut. Maka perlu ditetapka nnorma yang mana harus diterapkan.
Langkah yang ditempuh adalah penyelesaian konflik norma.
Ada
tipepenyelesaianberkaitandenganasasPrefensiHukum (yang meliputi asas Lex
superior, asas Lexspesialis, asas Lex Posterior) yaitu: [12]
1. Pengikaran (Disavowal)
Langkah ini seringkali merupakan suatu
paradok, dengan mempertahankan bahwa tidak ada konflik norma. Seringkali
konfllik itu terjadi berkenaan dengan asas Lex specialis dalam konflik
pragmatis atau dalam konflik logika di interpretasi sebagai pragmatis. Suatu
contoh yang lazim yaitu membedakan wilayah hukum seperti antara hukum privat
dan hukum publik, dengan beragumentasi bahwa dua bidang hukum tersebut
diterapkan secara terpisah, meskipun dirasakan bahwa antara kedua ketentuan
tersebut terdapat konflik norma.
2.
Reinterpretasi
Dalam
kaitan penerapan 3 asas prefensi hokum harus dibedakan yang pertama adalah
reinterpretasi, yaitu dengan mengikuti asas-asas prefensi, menginterpretasi
kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua
dengan menginterpretasi norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma
tersebut dengan menyampingkan norma yang lain.
3.
Pembatalan(invalidation)
Ada
2 macam yaitu: 1. Abstrak formal, 2. Praktikal. Pembatalan abstrak dan formal
dilaksanakan misalnaya oleh suatulembaga khusus, kalau di Indonesia pembatalan
Peraturan Pemerintah kebawah dilaksanakan olehMahkamah Agung Pembatalan
praktikal, yaitu tidak menerapkan norma tersebut didalam kasus konkrit.
Note:
Di Indonesia, dalam praktek peradilan dikenal dengan menyampingkan. Contoh
dalam kasus Tempo hakim menyampingkan Peraturan Menteri Penerangan oleh karena
bertentangan dengan Undang-undang Pers.
4.
Pemulihan (remedy)
Mempertibangkangkan
pemulihan dapat membatalkan satu ketentuan. Misal: dalam hal satu norma yang
unggul dalam arti Overruled norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka
sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, maka dengan cara memberikan
kompensasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Menurut Purnadi Purbacarakan dan Soerjono Soekanto, norma atau
kaidah adalah ukuran ataupun pedoman untuk perilaku atai bertindak dalam
hidupnya.
Menurut Maria Farida, norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi seseorang
dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun lingkungannya.
·
Norma atau kaidah pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu norma etika
dan norma hukum.
·
hukum adalah suatu rangkaian peraturan yang berasal dari masyarakat
yang dibuat oleh pihak berwenang dan disahkan oleh Pemerintah dengan maksud
untuk mengatur kehidupan masyarakat yang tertib, aman, serta untuk memberikan
kepastian hukum terhadap masyarakat.
·
Terdapat perbedaan antara Norma Hukum dan Hukum.
·
Terdapat beberapa penyelesaian konflik antar norma,
yaitu pengingkaran,reinterpretasi, dan pembatalan
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie,
Jimmly. 2011. Perihal Undang-Undang. (Jakarta: Rajawali Pers)
Purbacaraka Purnadi dan Soekanto Soejono. 1982. Perihal Kaidah Hukum.(Bandung: Alumni)
M. Hadjon
Philipus dan Sri Djatmiati Tatiek. 2017. Argumentasi Hukum.
(Yogyakarta: Gajah Mada University Pers)
Muhamamad Sadi. 2017. Pengantar Ilmu Hukum.
(Jakarta: Kencana, 2017)
Ni’matul Huda
dan R Nazriyah. 2011. Teori dan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan. (Bandung: Nusa Media)
Suriyani, Meta,
Pertentangan Asas Perundang-undangan dalam
Pengaturan Larangan Mobilisasi Anak pada Kampanye Pemilu, Jurnal Konstitusi Volume 13
Nomor 3 September
2016
[2] Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, 1982, Perihal Kaidah Hukum,(Bandung: Alumni), hlm .14.
[4] Ni’matul Huda dan R Nazriyah, 2011, Teori
dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, (Bandung: Nusa Media) hlm.
15.
[9] Tulisan
ini merupakan hasil Kajian Divisi Kajian & Pengembangan Hukum BSO KOMAHI FH
UNAIR, yang ditulis oleh Xavier Nugraha, Ketua Divisi Kajian & Pengembangan
Hukum BSO KOMAHI FH UNAIR, dikutip dari: https://komahifhunaircom.files.wordpress.com/2018/03/konflik-hukum-atau-konflik-norma.pd. Di akses Pada
17Mei 2019, pukul 15.00
[12] Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2017, Argumentasi
Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Pers), hlm. 31-32.
Comments
Post a Comment