HUKUM PENALARAN
A. KELOMPOK
ILMU-ILMU
Denotasi ilmu dapat dirujuk dengan
melihat unsur-unsur definisinya. Dalam karya besar kamusnya yang legendaris,
Samuel Johnson menyebutkan unsur-unsur ilmu itu sebagai berikut :
a.
Knowledge
b.
Certainty
grounded on demonstration
c.
Art attained by
precepts or built on principles
d.
Any art or
species of knowledge
e.
One of the
seven liberal arts
Unsur-unsur
itu menunjukkan denotasi ilmu yang demikian luas, menyerupai batasan erminologi
wissensshaft alam bahasa jerman, yang mencakup juga ilmu ilmu kemanusiaan
dilihat dari konotasinya, ilmu mencakup aspek proses, prosedural, dan produk.
Ketiganya membentuk segitiga konotasi ilmu.
ada
banyak sekali metode pengelompokan ilmu-ilmu dalam uraian ini, konstelasi
ilmu-ilmu dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu ilmu formal dan ilmu
empiris atau ilmu positif. Ilmu-ilmu formal tidak memfokuskan diri pada gejala
gejalafaktuan sebagai objek kajiannya. Sebalikya yang terjadi pada ilmu-ilmu
empris. Oleh karena itu ilmu-ilu formal digunakan sebagai sarana untuk membantu
analisis ilmu-ilmu empiris.
Oleh
karena perhatiannyalebih kepada sistem sistem penalaran dan perhitungan itulah,
maka kebenaran ilmu-ilmu formal di dekati secara formal pula
Gejala
pengetahuan dapat didekati dengan menggunakan dua model pendekatan. Pertama,
manusia atau subjek itu mendekati objek telaah nya degan membuat suatu model
lahir dan nyata (3D). Kedua, manusia mendekati objek seolaholah hendak memasuki
objek yang dipelajarinya itu sedalam dalamnya.
Ilmu
ilmu empiris dibedakan menjadi dua kelompok, yakni ilmu ilmu alam dan ilmu ilmu
kemanusiaan. Kegiatan keilmuan adalah kegiatan manusia sebagai subjek. Hubungan
antara subjek dan objek yang diteliti merupakan faktor yang sanat menentukan
dalam pemilhan ilmu ilmu alam dengan ilmu ilmu kemanusaiaan
Subjek
yang melakukan penyelidikan dalam ilmu ilmu kemanusiaan adalah manusia dengan
sasaran objek penyelidikan adalah juga manusia. Objek ilmu ilmu alam adalah
semua realitas fisik dari alam semesta sejauh realitas tersebut dapat
diobserfasi secara inderawi dan kebenaran pengetahuannya dapat difalidasi
melalui rangkaian eksperimen yang terukur.
B. MODERN DAN POSMODERN
Modern
dan Posmodern
Dalam
periodisasi filsafat, istilah “modern” diberikan untuk suatu rentang waktu yang
berawal pada abad ke 16. Tahap pertama zaman modern itu dimulai tatkala manusia
menganggap jati dirinya lahir kembali (renaissance), lepas dari tekanan abad
pertengahan yang penuh prasangka tentang kehidupan manusia sebagai mahkluk
pendosa.
Apabila
pada periode pertama (Zaman Yunani Kuno) diskursus filsafat berpusat pada
masalah-masalah alam semesta (kosmosentris), dan abad pertengahan pada
ketuhanan (teosentris), maka wacana zaman modern berkutat pada subjek manusia
(antroposentris). Hal ini dapat dipahami, mengingat zaman modern dipandang
telah membangkitkan kembali humanism zaman (yunani) kuno dengan titik berat
pada individualism. Apabila kaum humanis zaman yunani kuno mengajarkan tentang
ketenangan dan pengendalian diri, maka jumanis ala zaman modern mengajak
individu untuk kritis dan penuh percaya diri,
maka humanis ala zaman modern mengajak individu untuk krisis dan penuh
percaya diri, bahkan dinilai terlalu percaya diri (over self confidence).
Menurut
Bertrand Russel, ada dua hal terpenting yang menandai awal sejarah modern,
yakni runtunya otoritas gereja dan menguatnya otoritas ilmu (sains).
Adapun menurut sidharta
|
Modern
|
Posmodern
|
Era
|
Insdustrialiasi
|
Informasi
|
Simbol
|
Pabrik
|
Komputer
|
Model
|
Sentral
|
Network, heteropia
|
|
Universe
|
Multiverse
|
|
Produksi massal, standar
|
Produksi segmentaris, multivalences
|
Decision
|
Hirarkis
|
Konsensus
|
Kesadaran
|
Nasional
|
Global
|
Dengan demikian, salah satu ciri posmodernisme adalah
penolakannya yang kuat terhadap dominasi narasi. Selama zaman modern,
berlangsung suatu proyek untuk membangun masyarakat baru atas dasar rasio
universal. Program pencerahan ini percaya bahwa kaum modern sanggup melihat
dunia sebagaimana adanya, yang objektif dan bebas dari mitos. Padahal, menurut
kaum posmodernis, subjektivitas dan mitos-mitos itu justru penting peranannya
untuk mempertahankan hubungan-hubungan social dalam masyarakat dan menjadi
dasar untuk keabsahannya.
Dinamika yang luar biasa cepatnya ini direspons oleh
ilmu hukum. Mengingat ilmu hukum ini selalu berdimensi nasional, maka dengan
sendirinya perubahan tersebut mengejawantahkan ke dalam system hukum positif
Negara tersebut.
C. ASPEK ONTOLOGIS, EPISTIMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS
A.
Aspek Ontologis

![]() |
B.
Aspek Epistemologis

![]() |
C.
Aspek Aksiologis


D. MODEL-MODEL HUKUM PENALARAN
1.
Positivisme dan
Empiris Logis
Ada banyak teori yang menjadi inspirasi dan Positivisme Logis (yang
kemudian berkembang menjadi Empirisme Logis) ini. Teori Relativitas dari Albert
Einstein (1879-1955). Teori yang dibawa aliran ini berpegang pada empat asas :
1.
Empirisme, berarti mengandalkan pengalaman langsung.
2.
Positivisme , mengandung pengertian bahwa pengetahuan positif pasti
berguna untuk membangun masyarakat.
3.
Logika, sebagai asas ketiga memberi syarat bahwa analisisnya harus
logis.
4.
Kritik Ilmu, mengandung pengertian bahwa Positivisme dan empirisme
Logis mengemban tugas untuk mencari ilmu yang berkesatuan.
Ketika positivisme logis diambil alih oleh empirisme logis, fokus
penelaahan bahasa menjadi kian penting. Dalam hal ini bahasa dibedakan menjadi
dua, yaitu bahasa pengamatan dan bahasa teori. Apabila bahasa pengamatan
menggunakan logika dan tata bahasa, maka bahasa teori menambah elemen baru
yaitu ilmu pasti.
Apabila
positivisme logis mendudukan subjek diatas segalanya dengan kepastian yang
tinggi, maka empirisme logis justru menginginkan komunikasi yang inter
subjektif, sekalipun harus mengorbankan kepastian. Kelebihan Positivisme Logis adalah bahwa
pengetahuan bahwa pengetahuan tidak mungkin lebih pasti daripada itu, sedangkan
kekurangannya adalah bahwa spenuhnya
pengamatan itu bersifat subjektif. Kelebihan emprisme logis adalah bahwa ia
memakai intersubjektivitas sebagai kriteria pengetahuan ilmiah. Kekurangannya
adalah bahwa pengetahuan tidak pernah memberi kepastian.
2.
Rasionalisme
Kritis
Muncul terutama untuk mengkritisi Positivisme Logis. Tokoh besar
dibalik kelahiran aliran ini adalah Karl R Popper (1902-1994) yang lazim
dikaitkan dengan asas pokok teorinya tentang pertumbuhan ilmu, berbeda dengan
positivisme dan empirisme Logis yang lebih menyoroti struktur ilmu.
Popper menolak keras perolehan pengetahuan ilmiah melalui induksi.
Menurutnya mustahil menarik kesimpulan yang berlaku umum tanpa terikat ruang
dan waktu berdasarkan premis-premis spesifik dengan jumlah yang terbatas.
Itulah sebabnya, ia sampai pada kesimpulan bahwa penalaran yang tepat adalah
dengan penalaran deduktif.
Menurutnya pula
teori adalah ciptaan manusia yang hanyalah berupa pendugaan atau pengiraan,
yang berarti teori tidak pernah benar mutlak. Ilmu baru dapat berkembang jika
diuji secara terus-menerus, yang pengujianny dilakukan dengan menunjukkan
kesalah (anomali) dari teori itu sendiri, disni Popper memperkenalnya
“falsifikasi” lawan dari “verifikasi”.
3.
Empirisme Analitis
Empirisme Analitis
menggambarkan proses penelitian ilmiah sebagai siklus (daur). Teori ini timbul
dalam hubungan dengan usaha-usaha untuk menerapkan Positivisme dan Empirisme
Logis pada bidang studi ilmu sosial tertentu. Empirisme Analitis bertujuan
untuk menerangkan tentang apa itu pengetahuan ilmiah, bagaimana ilmu itu
berkembang, dan metode penelitian apa yang cocok dipakai untuk mengembangkan
ilmu. Tahap-tahap yang membentuk siklus empiris dalam pengembangan pengetahuan
ilmiah adalah sebagai berikut:
a. Tahap Observasi
b. Tahap Induksi
c.
Tahap Deduksi
d.
Tahap
Pengujian
e.
Tahap
Evaluasi
4.
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis
Secara etimologis Hermeneutika berasal dari kata
“hermes” nama dewa dalam mitologi Yunani, yang tugasnya menyampaikan atau
menafsirkan pesan dari para dewa kepada manusia. Hermeneunein berarti “to
interpret” atau dalam bahasa Indonesia berate “untuk menafsirkan”. Ada tiga
unsur dalam Hermeneutika, yaitu: (1) Adanya tanda, pesan, berita, yang
seringkali berbentuk teks, (2) Harus ada sekelompok penerima yang
bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan atau teks itu, dan (3) adanya
pengantara yang dekat dengan kedua belah pihak.
Hermeneutika sangat
berkaitan dengan interpretasi atas simbol-simbol, khususnya bahasa. Dengan
demikian, metode penemuan hukum yang bertumpu pada naskah Peraturan
Perundang-Undangan, doktrin, dan sebagainya, dapat disoroti dengan pendekatan
hermeneutis ini. Dalam pandangan filsafat ilmu dewasa ini, Wuisman berpendapat
bahwa Hermeneutika bukan model penalaran yang seragam. Ada banyak perbedaan
dalam hal asas, tujuan, pendekatan, dan metodenya.
Teori Konstruktivisme
Kritis yang merupakan salah satu teori dalam epistemologi ini diberi nama oleh
Wuisman. Ia menggunakan metode interpretasi (hermeneutics) sebagai pola
penalarannya. Konstruktivisme Kritis ini berangkat dari beberapa asumsi: (1)
tidak terdapat hubungan langsung antara teori (pengetahuan ilmiah) dan
kenyataan (empiri); (2) teori tidak dapat dibuktikan begitu saja kebenarannya
secara induktif atau empiri tidak dapat ditunjukkan begitu saja kebenarannya
secara deduktif; (3) apa yang dinamakan teori dan empiri hanya terdapat dalam
suatu “kenyataan” yang hanya dapat “dikonstruksikan” dalam pikiran, yang
kemudian disebut sebagai “kenyataan konseptual” (conceptual reality); (4) untuk
tujuan pengembangan pengetahuan ilmiah, maka teori dan empiri itu
dipertentangkan dalam suatu kenyataan konseptual melalui bentuk logis formal
berupa metode interpretasi (lingkaran hermeneutis); dan (5) interpretasi itu
dikritisi, sehingga jika tidak dapat ditunjukkan kebenarannya, akan diterima
sebagai pengetahuan ilmiah.
Pengembangan pengetahuan ilmiah menurut
Konstruktivisme Kritis dapat dirinci melewati enam tahap, yaitu:
a.
Tahap Pembatasan Permasalahan
b.
Tahap Pembuatan Teori
c.
Tahap Perancangan Pengujian
d.
Tahap Pengumpulan Data
e.
Tahap Pengolahan Data
f.
Tahap Penilaian
Comments
Post a Comment